BERITA ONLINE

Jumat, 10 Juni 2011

Mendiknas Siapkan Kurikulum Pendidikan Pancasila

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengatakan pihaknya masih merumuskan pendidikan Pancasila untuk dimasukkan kurikulum pelajaran sekolah sesuai intruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam upaya pembangunan karakter siswa.

"Perumusan pendidikan Pancasila itu kami lakukan sebagai bagian dari peninjauan ulang kurikulum dalam pembentukan karakter siswa," kata Mendiknas Nuh usai pembukaan acara "System Assesment and Benchmarking for Education Results (SABER), di Nusa Dua, Bali, Minggu.

Dia mengatakan, pembentukan karakter siswa itu sebagaimana diamanatkan Presiden dilakukan supaya peserta didik tidak hanya meningkatkan kemampuan dalam pengetahuan namun juga dalam perilaku dan budi pekerti.

Untuk membentuk dan menumbuhkan pendidikan karakter itu ada tiga tahapan yang harus dilalui. Pertama, menumbuhkan kesadaran peserta didik bahwa semua manusia itu sama derajatnya sebagai ciptaan Tuhan.

Kemudian yang berkaitan dengan pendidikan nilai Pancasila adalah menanamkan rasa cinta terhadap Tanah Air. Salah satu cara untuk menumbuhkan kecintaan itu dengan membangun kebanggaan generasi muda melalui prestasi yang membanggakan.

"Saat ini mata pelajaran yang masih ada berkaitan dengan nilai Pancasila adalah Pendidikan Kewarganegaraan sesuai dengan kurikulum 2006," ujarnya.

Mohammad Nuh menjelaskan, sebelumnya mata pelajaran itu dinamakan PPKN namun karena adanya Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 berubah menjadi yang sekarang digunakan.

Sampai sekarang belum ada perubahan nama mata pelajaran, karena butuh waktu yang cukup lama. "Minimal butuh waktu setahun untuk kembali mengganti nama mata pelajaran dari PKN menjadi mata pelajaran yang berisikan nilai-nilai Pancasila secara khusus," katanya.

Dia menjelaskan waktu dibutuhkan setidaknya untuk menyiapkan buku baru yang seusai. "Pergantian nama pada tahun ajaran 2011/2012 tidak memungkinkan, paling tidak diselipkan Pancasila dalam PKN," ujarnya.(sumber:berbagai media massa)

Rabu, 01 Juni 2011

Komisi Hukum Nasional Adalah Desainer, Bukan Tukang Jahit

Yogyakarta - Tugas Komisi Hukum Nasional (KHN) adalah seperti desainer yang selalu merancang, tetapi bukan tukang jahit. Sehingga pekerjaannya tidak penuh gegap gempita, seperti tugas seorang polisi dan jaksa yang penuh publisitas.

Hal itu disampaikan Menkumdan HAM Hamid Awaludin saat memberikan sambutan acara dialog "Kilas Balik 6 Tahun Komisi Hukum Nasional" di Hotel Natour Garuda, jl Malioboro, Yogyakarta, Rabu(6/9/2006).

"KHN memang didesain agar anggotanya berpikir tentang desain bangunan hukum yang adil, bukan jadi pelaksana. Ini harus di-clear-kan dulu supaya judgement kita fair. Jangan dibandingkan dengan komisi lain," kata Hamid.

Dia mengakui ada sesuatu yang tidak fair yang muncul di masyarakat berkaitan dengan tugas KHN. KHN seolah-olah selalu dibandingkan dengan komisi lain. KHN juga dianggap tidak punya pekerjaan atau bagian.

"Mereka seperti membandingkan antara buah apel dengan pepaya," imbuh Hamid.

Ketidak-fair-an muncul ketika orang yang menilai tidak mempelajari fungsi atau tugas masing-masing lembaga yang dibandingkan.

"KHN memang hanya didesain sebagai desainer, bukan tukang jahir," tegas mantan anggota KPU itu.

Menurut Hamid, dalam perspektif hukum, KHN bukanlah polisi yang gegap gempita dengan penangkapan dan penahanan, bukan pula seperti jaksa yang gegap gempita dengan tuntutan. Komisi ini didesain untuk berpikir.

"Karena itu para anggota komisi yang dibutuhkan dari mereka-mereka yang punya kegelisahan intelektual, bukan berkemampuan untuk menyidik kesana-kemari yang melahirkan publisitas tinggi," katanya.

Kalau melihat rekomendasi selama 6 tahun terakhir, lanjut Hamid, yang dihasilkan KHN memang tidak mengundang gegap gempita, tapi fundamental.

"Sebab yang dihasilkan bukan lagi sekrup kecil dari sebuah pondasi bangunan, melainkan masalah fundamental," imbuhnya. (nvt/) (SUMBER:KHNRI)

Berantas Korupsi dengan Pembuktian Terbalik

JE Sahetapy
Upaya untuk menghilangkan korupsi seharusnya dilakukan aparat penegak hukum dengan asas pembuktian terbalik. Hal itu bisa dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana ditetapkan dalam UU terkait lembaga itu dan juga dengan melakukan revisi atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga Surabaya, JE Sahetapy, kepada SP, Senin (17/3), banyak negara telah mempraktikan asas pembuktian terbalik untuk mencegah korupsi. Untuk itu Indonesia seharusnya berani melakukan terobosan tersebut dengan dukungan moral aparat penegak hukum.
"Saya pikir dengan kondisi Indonesia yang sudah hancur karena korupsi maka asas ini sangat relevan diberlakukan," kata dia.
Penegasan itu terkait dengan rencana KPK yang akan melakukan penyitaan aset pelaku korupsi dan keluarganya sejak proses penyelidikan. Langkah tersebut sejalan dengan upaya pembuktian terbalik terhadap dugaan praktik korupsi.
"Langkah KPK itu saya dukung. Itu langkah yang bagus, cukup efektif dalam memberantas korupsi," kata Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) itu.
Pembuktian terbalik adalah orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Tentu harus dengan bukti hukum yang kuat. Untuk itu, Mahkamah Agung (MA) didesak agar segera melakukan asas pembuktian terbalik. "MA memberlakukan asas ini, tentu melalui yurisprudensi," kata dia.
Dia menegaskan agar pemberlakuan asas pembuktian terbalik di Indonesia berjalan baik maka sebaiknya segera merevisi KUHAP. "Saya bersama anggota KHN sudah bertemu Presiden agar asas pembuktian terbalik ini segera dimasukkan ke dalam KUHAP," kata dia.
Sahetapy mengatakan, aturan hukum di Indonesia sebenarnya cukup memadai, namun permasalahan utamanya adalah moral aparat penegak hukumnya ambruk.
Sebelumnya, Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Harry Ponto, pernah mengutarakan instrumen pembuktian terbalik itu sangat bagus namun gagasan itu tidak dapat diterima DPR. Indonesia seharusnya belajar Hongkong dan Malaysia yang sudah menerapkan sistem pembuktian terbalik itu.
Penerapan
Upaya KPK menyita aset pelaku korupsi maupun keluarganya sejak proses penyelidikan itu dimaksudkan untuk menghindari pengalihan aset terdakwa korupsi. Rencana tersebut belajar dari kasus-kasus sebelumnya dimana KPK tak mau lagi kecolongan ketika pengadilan memvonis bersalah tetapi pelaku kabur.
KPK juga siap menghadapi berbagai reaksi dari para pihak berperkara yang tidak setuju dengan langkah KPK itu. Bahkan, banyak kalangan mendorong agar sita yang akan dilakukan KPK juga tidak pandang bulu dan harus diberlakukan terhadap semua aset di dalam maupun di luar negeri.
Wakil Ketua KPK, Candra M Hamzah, mengatakan, pimpinan KPK dan seluruh jajaran KPK berusaha memaksimalkan penerapan UU 30/2002 tentang KPK, termasuk peraturan menyita aset pelaku korupsi sejak proses penyelidikan.
"Ya, menyita aset pelaku korupsi serta aset keluarganya sejak proses penyelidikan, bukan peraturan baru tapi memaksimalkan peraturan yang sudah ada, yaitu UU KPK," kata Candra.
Seperti diberitakan SP (Sabtu, 15/3), desakan penerapan sita aset yang sejalan dengan pembuktian terbalik tersebut juga disampaikan mantan peneliti Asian Human Rights Commission (AHRC), Pablo Christalo, dan juga Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center, Uli Parulian Sihombing.
Pablo mengatakan penyitaan aset koruptor tersebut tidak bertentangan dengan HAM dan perlu dipromosikan di Indonesia sehingga membuat efek jera pada pelaku dan tindak korupsi. Bahkan, jika Indonesia tidak melakukan pembuktian terbalik maka pemerintah sudah melakukan pelanggaran atas standar hukum internasional.
Uli menambahkan langkah KPK untuk menyita aset pelaku korupsi maupun keluarganya patut didukung semua rakyat Indonesia. Namun, Uli mengingatkan KPK agar yang disita jangan hanya harta di dalam negeri tetapi juga yang berada di luar negeri.
"Saya juga berharap agar KPK harus berani mengusut kasus korupsi besar yang juga melibatkan pejabat negara," kata mantan Direktur LBH Jakarta itu. (SUMBER: SUARA PEMBARUAN DAILY)

DK KPU: Kasus Andi Nurpati Bisa Merusak Kepercayaan Publik

Salah satu anggota Dewan Kehormatan (DK) Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komaruddin Hidayat, menilai pengunduran diri Anggota KPU, Andi Nurpati justru melukai banyak orang. Hal tersebut berimplikasi pada kepercayaan publik dan aset stabilitas hasil pemilu.

Oleh karena itu, hari ini DK mengadakan pertemuan untuk membahas sah dan tidaknya pengunduran Andi Nurpati. "Kalau menurut UU (undang undang) benar, itu hak dia mengembangkan karir. Tapi kalo salah itu melukai banyak orang," ujar Komaruddin sebelum memulai sidang dengan anggota DK yang lain di KPU, Senin (28/06).

Pertemuan pertama DK itu dilangsungkan secara tertutup. Meski demikian Komaruddin, berharap pada sidang nanti, lebih baik digelar secara terbuka. "Karena KPU milik publik," katanya. Agar pembangunan politik bisa baik kedepannya, masyarakat harus tahu sikap KPU.

Lebih lanjut Komaruddin mengatakan bahwa pemberhentian diri Andi Nurpati justru mengurangi kepercayaan publik pada integritas lembaga KPU. "Kepercayaan ini yang harus dibangun kembali," katanya.

Sebab, dampak kejadian ini sudah mempengaruhi KPU di daerah. Menurut Komaruddin, mereka sudah mulai bertanya-tanya, bahwa masuk ke KPU bisa menjadi jembatan untuk mencari posisi yang lain.

Komaruddin juga mengingatkan pada Partai Politik (parpol) untuk bisa memikirkan kembali jika ingin mengambil orang dari KPU. "Kalau mengambil orang dari awal sudah menimbulkan pro kontra apakah ini positif. Ini pelajaran bagi KPU dan parpol sendiri. Jangan sampai kasus ini memperlemah KPU pusat dan daerah," jelasnya. (sumber: REPUBLIKA.CO.ID)

Kasus Andi Nurpati, Mahfud MD Seret Empat Pejabat

Laporan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, terhadap Andi Nurpati, akan menyeret beberapa pejabat penting. Mahfud menyatakan, setidaknya empat pejabat akan terseret dalam kasus itu jika polisi menanganinya dengan benar. “Jika dipanggil, kena semua. Harusnya begitu laporan untuk surat palsu,” kata Mahfud di kantor MK, Selasa (31/5) malam.
Mahfud melaporkan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Nurpati, ke Mabes Polri pada 12 Februari 2010. Dalam surat laporan yang ditunjukkan Mahfud kepada wartawan, pada butir lima A, dan baris kedua dari bawah, tertera nama Andi Nurpati. Disebutkannya, Andi Nurpati menerima surat asli alias dokumen negara, tapi tak menggunakannya. Malah membuat dokumen palsu.
Mahfud mengungkap kronologis kejadian perkara. Yasin Limpo, calon gubernur Sulawesi Selatan melaporkan MK ke polisi. Itu karena KPU menetapkan Yasin Limpo sebagai pemenang pemilihan gubernur dengan surat palsu. Atas dasar itu, yang bersangkutan datang ke Jakarta berseragam lengkap untuk dilantik DPR. Lalu MK mengatakan prosedur itu salah. Sehingga pelantikan tersebut batal.
Mendapati MK dilaporkan polisi, kata Mahfud, pihaknya menyelenggarakan investigasi internal. Ternyata ditemukan jika surat itu palsu. Mahfud menyebut, selain Andi Nurpati, orang yang terlibat konspirasi itu juga yang mempersoalkan surat itu. “Orang sini (MK) clear. Tanya kepolisian saja empat orang itu,” ujar Mahfud.
Ia menilai polisi bukan bermaksud menutup-nutupi. Melainkan bersikap hati-hati menyikapi persoalan itu. Dikatakannya, Wakabareskrim Irjen Mathias Salempang dan Kabag Penum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar, secara persis belum tahu kasus itu. “Tapi penyidik tahu. Mereka dua hari lalu juga kesini.”
Langkah MK selanjutnya, kata Mahfud, menunggu polisi bekerja mengungkap kasus itu. Pihaknya akan pasif sebab tak bisa mendesak polisi untuk segera membongkar kasus pemalsuan dokumen negara itu. Mahfud mengaku kasihan dengan Andi Nurpati, namun hukum harus ditegakkan.
Apalagi masa kedaluarsa kasus itu 12 tahun. Sehingga terlapor bisa dijerat sewaktu-waktu sampai 2022. Ancaman pemalsuan dokumen negara jika terbukti minimal lima sampai tujuh tahun penjara. “Memang sulit menangkap ikan yang sedang bergerak. Tapi itu tugas polisi,” katanya.  (sumber: republika.co.id)

Bamsat: Pemerintah abaikan kesejahteraan masyarakat

Masalah kesenjangan sosial di kalangan masyakat yang terjadi sekarang ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang telah mengesampingkan nilai pancasila.

"Masyarakat sekarang ini semakin jauh dari harapannya untuk dapat hidup sejahtera," kata anggota DPR Fraksi Partai Golkar Bambang Soeasatyo, kepada primaironline.com, Jakarta, Rabu (1/6).

Menurut Bamsat, panggilan akrabnya, para pemimpin sekarang ini lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya saja. "Ini semakin jauh dari harapan," tegas Wakil Ketua Kadin itu.

Bamsat menambahkan, keinginan masyarakat agar pemerintah dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat untuk mendapat kehidupan yang layak seolah terabaikan oleh pemerintah.

"Pemerintah jangan lagi mengurusi dan menanggapi hal-hal yang remeh temeh seperti adanya sms dll. Tapi, buatlah masyarakat lebih banyak menikmati pembangunan agar pengangguran dan kemiskinan bisa cepat berkurang," papar dia.

Terkait masalah ekonomi Indonesia yang seolah tidak ada kemajuannya, Bamsat berpendapat, hal ini disebabkan kebijakan pemerintah yang salah kaprah. Kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat itu, tegas dia, jelas tidak mencerminkan keluhuran nilai-nilai Pancasila.

Misalnya, ungkap Bamsat, penandatangan kesepakatan ACFTA yang dilakukan pemerintah Indonesia dan China telah berdampak pada hancurnya UKM dan industri rumahan dalam negeri.

"ACFTA telah membawa industri dalam negeri ke jurang kehancuran. Ini disebabkan kompetisi yang tidak seimbang. Barang impor dari China bisa murah karena free tax dan mata uang yuan juga murah," tutur dia. (sumber:www.primaironline.com)

Nilai Pancasila kalah sama kepentingan petinggi negara

Semangat pemerintah dalam menjalankan nilai Pancasila sudah mulai pudar seiring dengan banyaknya kepentingan para petinggi negara.

"Di hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni hari ini semangat untuk menjalankan Pancasila ibarat jauh panggang dari arang," kata Ketua Umum Studi Demokrasi Rakyat Hari Purwanto kepada primaironline.com di Jakarta, Rabu (1/6).

Menurut Hari, untuk kembali ke jati diri bangsa sangat sulit mengingat pemerintah sekarang ini lebih memprioritaskan menjalankan agenda asing. Bahkan, kata dia, pemerintah seolah sudah menutup buku UUD 1945 yang merupakan landasan hukum dan bangunan dasar bagi Indonesia.

"Pemerintahan hari ini tidak lagi berpegangan kepada sumber hukum yaitu mukadimah UUD 1945 dan sumber moral yaitu PANCASILA, Bhineka Tunggal Ika. Bahkan cenderung mengikuti tuannya yang kita bisa lihat dari eksploitasi kekayaan alam Indonesia," papar Hari. (sumber: www.primaironline.com)