BERITA ONLINE

Rabu, 01 Juni 2011

Berantas Korupsi dengan Pembuktian Terbalik

JE Sahetapy
Upaya untuk menghilangkan korupsi seharusnya dilakukan aparat penegak hukum dengan asas pembuktian terbalik. Hal itu bisa dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana ditetapkan dalam UU terkait lembaga itu dan juga dengan melakukan revisi atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga Surabaya, JE Sahetapy, kepada SP, Senin (17/3), banyak negara telah mempraktikan asas pembuktian terbalik untuk mencegah korupsi. Untuk itu Indonesia seharusnya berani melakukan terobosan tersebut dengan dukungan moral aparat penegak hukum.
"Saya pikir dengan kondisi Indonesia yang sudah hancur karena korupsi maka asas ini sangat relevan diberlakukan," kata dia.
Penegasan itu terkait dengan rencana KPK yang akan melakukan penyitaan aset pelaku korupsi dan keluarganya sejak proses penyelidikan. Langkah tersebut sejalan dengan upaya pembuktian terbalik terhadap dugaan praktik korupsi.
"Langkah KPK itu saya dukung. Itu langkah yang bagus, cukup efektif dalam memberantas korupsi," kata Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) itu.
Pembuktian terbalik adalah orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Tentu harus dengan bukti hukum yang kuat. Untuk itu, Mahkamah Agung (MA) didesak agar segera melakukan asas pembuktian terbalik. "MA memberlakukan asas ini, tentu melalui yurisprudensi," kata dia.
Dia menegaskan agar pemberlakuan asas pembuktian terbalik di Indonesia berjalan baik maka sebaiknya segera merevisi KUHAP. "Saya bersama anggota KHN sudah bertemu Presiden agar asas pembuktian terbalik ini segera dimasukkan ke dalam KUHAP," kata dia.
Sahetapy mengatakan, aturan hukum di Indonesia sebenarnya cukup memadai, namun permasalahan utamanya adalah moral aparat penegak hukumnya ambruk.
Sebelumnya, Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Harry Ponto, pernah mengutarakan instrumen pembuktian terbalik itu sangat bagus namun gagasan itu tidak dapat diterima DPR. Indonesia seharusnya belajar Hongkong dan Malaysia yang sudah menerapkan sistem pembuktian terbalik itu.
Penerapan
Upaya KPK menyita aset pelaku korupsi maupun keluarganya sejak proses penyelidikan itu dimaksudkan untuk menghindari pengalihan aset terdakwa korupsi. Rencana tersebut belajar dari kasus-kasus sebelumnya dimana KPK tak mau lagi kecolongan ketika pengadilan memvonis bersalah tetapi pelaku kabur.
KPK juga siap menghadapi berbagai reaksi dari para pihak berperkara yang tidak setuju dengan langkah KPK itu. Bahkan, banyak kalangan mendorong agar sita yang akan dilakukan KPK juga tidak pandang bulu dan harus diberlakukan terhadap semua aset di dalam maupun di luar negeri.
Wakil Ketua KPK, Candra M Hamzah, mengatakan, pimpinan KPK dan seluruh jajaran KPK berusaha memaksimalkan penerapan UU 30/2002 tentang KPK, termasuk peraturan menyita aset pelaku korupsi sejak proses penyelidikan.
"Ya, menyita aset pelaku korupsi serta aset keluarganya sejak proses penyelidikan, bukan peraturan baru tapi memaksimalkan peraturan yang sudah ada, yaitu UU KPK," kata Candra.
Seperti diberitakan SP (Sabtu, 15/3), desakan penerapan sita aset yang sejalan dengan pembuktian terbalik tersebut juga disampaikan mantan peneliti Asian Human Rights Commission (AHRC), Pablo Christalo, dan juga Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center, Uli Parulian Sihombing.
Pablo mengatakan penyitaan aset koruptor tersebut tidak bertentangan dengan HAM dan perlu dipromosikan di Indonesia sehingga membuat efek jera pada pelaku dan tindak korupsi. Bahkan, jika Indonesia tidak melakukan pembuktian terbalik maka pemerintah sudah melakukan pelanggaran atas standar hukum internasional.
Uli menambahkan langkah KPK untuk menyita aset pelaku korupsi maupun keluarganya patut didukung semua rakyat Indonesia. Namun, Uli mengingatkan KPK agar yang disita jangan hanya harta di dalam negeri tetapi juga yang berada di luar negeri.
"Saya juga berharap agar KPK harus berani mengusut kasus korupsi besar yang juga melibatkan pejabat negara," kata mantan Direktur LBH Jakarta itu. (SUMBER: SUARA PEMBARUAN DAILY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar