BERITA ONLINE

Sabtu, 28 Mei 2011

Gus Sholah Usulkan Kurikulum Pancasila untuk Pejabat



Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah), mengusulkan pelatihan dengan kurikulum Pancasila untuk pejabat dan politisi.

"Saya setuju adanya pendidikan Pancasila seperti P4 dihidupkan lagi, tapi saya kira kurikulum itu seharusnya tidak hanya untuk sekolah dan universitas," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Jumat.

Ia mengemukakan hal itu di sela-sela pameran foto bertajuk "Berbingkai Lumpur" yang merupakan hasil bidikan 10 korban lumpur di Perpustakaan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya, 25 Mei hingga 11 Juni 2011.

Sebelumnya, Rektor PTN se-Jatim yang tergabung dalam Paguyuban Rektor Jatim meminta P4 (Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila) diajarkan kembali di sekolah dan kampus dengan materi yang bukan doktrinisasi ala Orde Baru.

Menurut Gus Sholah yang juga mantan anggota Komnas HAM itu, politisi, pejabat pemerintah, dan pejabat lembaga-lembaga negara juga perlu pendidikan Pancasila seperti halnya pelajar dan mahasiswa.

"Hal itu karena politisi dan pejabat selama ini hanya bicara tentang Pancasila dan bukan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, sehingga mereka mampu memikirkan rakyat lebih baik lagi," kata adik kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.

Mantan Ketua PBNU itu menilai Pancasila bukan hanya solusi untuk menangkal radikalisme dan liberalisme, tapi Pancasila juga mengajarkan solusi radikalisme dan liberalisme adalah mengatasi kemiskinan dan menghapus ketidakadilan.

"Saya yakin, Pancasila itu sudah merupakan bentuk yang paling baik untuk masyarakat yang majemuk, karena itu sistem lain seperti negara Islam itu tidak ada gunanya, tapi kalau Pancasila hanya diomongkan juga percuma," katanya.

Senada dengan itu, Rektor Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Drs Ec Wibisono Hardjopranoto MS mendukung pembelajaran Pancasila bagi sekolah dan kampus untuk mewujudkan pendidikan karakter yang non-doktrinasi.

"Tapi, pembelajaran Pancasila harus ada revitalisasi, sebab di kampus sebenarnya sudah ada pendidikan Pancasila dalam tiga SKS yang digabung dengan pendidikan kewarganegaraan," katanya.

Menurut dia, jumlah SKS untuk Pancasila dan agama itu bukan hal yang penting, melainkan bagaimana nilai-nilai Pancasila diajarkan tanpa terjebak pada ritualisme, kosmetik-isme, dan rutinitas.

"Harus ada pembelajaran yang membuat Pancasila dapat diterima oleh pelajar dan mahasiswa serta para pemimpin negeri ini sebagai `roh` atau `rujukan` dalam kehidupan sehari-hari," kata Guru Besar Ekonomi Ubaya itu.

Misalnya, Pancasila dapat diajarkan melalui dongeng atau praktik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga Pancasila dapat juga diajarkan dalam pelajaran atau pelatihan apa pun yang dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila.
Sumber: www.antaranews.com

Pancasila Hanya Dimaknai Secara Seremonial

Budayawan yang juga pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang, K.H. Nuril Arifin, yang akrab disapa Gus Nuril, menyatakan bahwa selama ini Pancasila hanya dimaknai secara seremonial dan belum mengakar di hati bangsa Indonesia.

"Termasuk pada 1 Juni mendatang yang diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila, hanya akan bersifat seremonial semacam itu," katanya di Semarang, Sabtu, saat merefleksikan Peringatan Hari Lahir Pancasila, setiap 1 Juni.

Menurut dia, bangsa Indonesia, mulai dari rakyat hingga pemimpinnya banyak yang justru "mengkhianati" Pancasila. "Dalam berbagai aspek kehidupan justru tidak sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila."

Ia mencontohkan dari kalangan rakyatnya, Pancasila seperti dilupakan seiring kian sulitnya kehidupan ekonomi yang mereka hadapi, semakin banyak beban hidup yang dipikul, sementara peluang mendapatkan lapangan kerja kian sempit.

"Kondisi ekonomi yang menjepit itu akhirnya memaksa rakyat melakukan tindakan yang salah demi mempertahankan hidup, seperti merampok dan menjambret. Mengapa? Karena pemerintah `memaksa` rakyat berbuat semacam itu," katanya.

Pemerintah, kata dia, tak mampu memenuhi prasyarat hidup yang layak bagi rakyat, tak mampu menyediakan lapangan kerja memadai, dan sekarang ini banyak perusahaan yang memilih menerapkan sistem tenaga kerja kontrak.

"Sistem tenaga kerja kontrak ini bersifat kapitalis, karena rakyat jadi tidak merasa terjamin masa depannya. Akhirnya, jangankan Pancasila, nilai agama pun `ditinggalkan`," kata Gus Nuril yang mantan Panglima Laskar Berani Mati membela Gus Dur itu.

Selain itu, ia juga menyoroti penegakan hukum di Indonesia.

Selama ini, katanya, hukum memang sudah ditegakkan sesuai prosedur, namun belum mampu menciptakan rasa keadilan masyarakat, terutama kalangan bawah.

Ia menyatakan, banyak contoh penegakan hukum yang belum mampu menciptakan rasa keadilan masyarakat.

Ia mengatakan, masyarakat kecil terjerat hukum diadili, sementara kasus-kasus hukum yang menyeret orang-orang besar justru didiamkan hingga saat ini.

"Pemaknaan Pancasila bagi kalangan pemimpin juga sama saja, karena mereka terlalu sibuk bersaing memperebutkan jabatan dan kekuasaan, dengan menggunakan duit. Siapa punya duit yang menang, bukan yang berilmu dan bijaksana," katanya.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, kata dia, akhirnya banyak keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.

Ia mengatakan, suara terbanyak dijadikan penentu kebenaran, bukan berdasarkan nilai hikmat kebijaksanaan.

"Padahal, Pancasila sudah jelas menyatakan dalam Sila 4 bahwa Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Musyawarah yang harus dikedepankan, bukan `voting`," kata Gus Nuril.
(sumber : www.antaranews.com )

Pimpinan Lembaga Negara Sepakati Penguatan Pancasila




Pancasila tidak pernah lagi dihayati secara sungguh-sungguh dalam kehidupan bernegara sehingga negara morat-marit dan korupsi terjadi di mana-mana. 

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) didampingi Wapres Boediono (kanan) dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa (tengah) memimpin pertemuan dengan pimpinan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi , Jakarta, Selasa (24/5).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan para pimpinan lembaga negara yang lain sepakat untuk menciptakan sinergi dalam mendorong penguatan penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar ideologi negara dalam kehidupan sehari-hari.

Kesepakatan itu dituangkan dalam suatu pernyataan bersama, setelah pertemuan antar-pimpinan lembaga negara yang berlangsung selama lebih kurang tiga jam di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa.

Selain Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, konsultasi rutin tersebut juga diikuti oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Ketua MPR Taufik Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua MA Harifin Tumpa, Ketua BPK Hadi Poernomo, dan Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman.

Menurut Ketua MK, dalam pertemuan tersebut para pimpinan lembaga negara antara lain membahas perlunya pemahaman kembali Pancasila sebagai dasar ideologi negara yang terbuka serta memulihkan kesadaran seluruh warga negara bahwa Pancasila telah teruji memberikan tuntunan bagaimana pluralitas bangsa.

Selain itu, para pimpinan lembaga negara juga membahas mengenai keperluan adanya gerakan terstruktur, sistematis dan masif yang melibatkan lembaga negara di semua cabang kekuasaan negara untuk merevitalisasi, menginternalisasi, dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.

Sebelumnya Mahfud MD mengatakan dalam pertemuan tersebut setiap ketua lembaga negara menyampaikan makalah secara bergantian selama lebih kurang 15 menit gagasan dan pokok pemikiran mengenai apa yang sudah dan harus dilakukan ke depan dan merumuskan langkah-langkah bersama guna upaya penguatan Pancasila sebagai dasar ideologi negara.

Pertemuan itu, kata Mahfud, bertujuan untuk menyamakan visi pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan bernegara.

Ia menilai, Pancasila tidak pernah lagi dihayati secara sungguh-sungguh dalam kehidupan bernegara sehingga negara morat-marit dan korupsi terjadi di mana-mana.

Mahfud menegaskan keperluan untuk menyelamatkan negara yang salah satu caranya adalah dengan menyelamatkan ideologi negara yang merupakan tugas bersama.

"Kalau membela pemerintahan bisa ramai dan tidak kompak karena beda politik, tetapi kalau membela ideologi negara itu milik kita bersama," katanya.

MK, selaku tuan rumah konsultasi rutin antarpimpinan lembaga negara kali ini sengaja memilih tema "Memantapkan Posisi dan Peran Masing-Masing Lembaga Negara dalam Upaya Penguatan Pancasila sebagai Dasar Ideologi Negara" setelah melihat melemahnya penghayatan dan pengamalan Pancasila
sumber www.antaranews.com

Mahfud: Kepala Lembaga Negara Samakan Visi Pancasila

Mahfud Laporkan Penerimaan Dana Nazaruddin ke KPK Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, pada Selasa (24/5) akan dilakukan pertemuan antarkepala lembaga negara di MK untuk menyamakan visi implementasi Pancasila dalam kehidupan bernegara.

"Besok para ketua lembaga negara itu akan bertemu di MK dengan target yaitu penyamaan visi Pancasila. Pancasila itu mau diapakan dalam implementasinya baik dalam politik dan bernegara," kata Mahfud, di Jakarta, Senin (23/5) .

Mahfud menegaskan bahwa selama ini Pancasila tidak pernah lagi dihayati secara sungguh-sungguh dalam kehidupan bernegara sehingga negara morat-marit dan korupsi terjadi di mana-mana.

Menurut dia, negara harus diselamatkan, dan salah satu caranya adalah menyelamatkan ideologi negara yang merupakan tugas bersama.

"Kalau membela pemerintahan bisa ramai dan tidak kompak karena beda politik, tetapi kalau membela ideologi negara itu milik kita bersama. Nah itu itu yang akan kami bicarakan," katanya.

Pertemuan antarlembaga negara yang akan diselenggarakan di MK pada Selasa (24/5) besok akan dihadiri oleh Presiden serta Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua BPK, Ketua MK, Ketua MA dan Ketua KY.

Mahfud mengatakan dalam pertemuan tersebut setiap ketua lembaga negara akan menyampaikan makalah secara bergantian.

"Secara teknis semua kepala lembaga negara itu akan menyampaikan paper yang masing-masing 15 menit, lalu Presiden akan diberikan waktu lebih banyak karena beliau nanti akan merangkum semua gagasan itu di dalam pendapatnya sendiri yang akan didiskusikan bersama," kata Mahfud

sumber: berbagai masmedia

Pimpinan Lembaga Negara Sepakati Penguatan Pancasila

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD (tengah), bersama Presiden Yudhoyono, Wapres Boediono, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, dan Ketua BPK Hadi Poernomo, dan sejumlah menteri saat memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan pimpinan lembaga negara di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (24/5).  Foto: Investor Daily/TINO OKTAVIANOKetua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD (tengah), bersama Presiden Yudhoyono, Wapres Boediono, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, dan Ketua BPK Hadi Poernomo, dan sejumlah menteri saat memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan pimpinan lembaga negara di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan para pimpinan lembaga negara lainnya sepakat untuk menciptakan sinergitas dalam mendorong penguatan penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar ideologi negara dalam kehidupan sehari-hari.

Kesepakatan itu dituangkan dalam suatu pernyataan bersama, setelah pertemuan antar pimpinan lembaga negara selama lebih kurang 3 jam di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (24/5).

Selain Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, konsultasi rutin tersebut juga diikuti Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua MA Harifin Tumpa, Ketua BPK Hadi Poernomo, dan Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman.

Menurut Ketua MK, dalam pertemuan tersebut para pimpinan lembaga negara antara lain membahas perlunya pemahaman kembali Pancasila sebagai dasar ideologi negara yang terbuka serta memulihkan kesadaran seluruh warga negara bahwa Pancasila telah teruji memberikan tuntunan bagaimana pluralitas bangsa.

Selain itu, para pimpinan lembaga negara juga membahas mengenai keperluan adanya gerakan terstruktur, sistematis dan masif yang melibatkan lembaga negara di semua cabang kekuasaan negara untuk merevitalisasi, menginternalisasi, dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila.

Sebelumnya Mahfud MD mengatakan dalam pertemuan tersebut setiap ketua lembaga negara menyampaikan makalah secara bergantian selama lebih kurang 15 menit gagasan dan pokok pemikiran mengenai apa yang sudah dan harus dilakukan ke depan dan merumuskan langkah-langkah bersama guna upaya penguatan Pancasila sebagai dasar ideologi negara.

Pertemuan itu, kata Mahfud, bertujuan untuk menyamakan visi pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan bernegara.

Ia menilai, Pancasila tidak pernah lagi dihayati secara sungguh-sungguh dalam kehidupan bernegara sehingga negara morat-marit dan korupsi terjadi di mana-mana.

Mahfud menegaskan keperluan untuk menyelamatkan negara yang salah satu caranya adalah dengan menyelamatkan ideologi negara yang merupakan tugas bersama.

"Kalau membela pemerintahan bisa ramai dan tidak kompak karena beda politik, tetapi kalau membela ideologi negara itu milik kita bersama," katanya.

MK, selaku tuan rumah konsultasi rutin antarpimpinan lembaga negara kali ini sengaja memilih tema "Memantapkan Posisi dan Peran Masing-Masing Lembaga Negara dalam Upaya Penguatan Pancasila sebagai Dasar Ideologi Negara" setelah melihat melemahnya penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hati.(sumber:berbagai masmedia)

Foto-foto Presiden Soekarno yang Langka

Koleksi Foto The Founding Father Soekarno, semoga kita semakin dekat dan cinta pada negara indonesia. Ir. Soekarno (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 – 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan ada 17 koleksi Foto yang dapat dinikmati.. here this :

President Sukarno Saying Goodbye to His Daughters
Surrounded by citizens of Jakarta, President Sukarno kisses his youngest daughter, Sukmawati, goodbye while his other daughters, Rachmawati (center) and Megawati (left), wait their turn. The Indonesian President was leaving for a three-week vacation in Tokyo.
Image: © Bettmann/CORBIS
Date Photographed: November 19, 1962

Indonesian President Achmad Sukarno Calming down Protesters
Original caption: Indonesian President Achmad Sukarno, shown here speaking to a crowd in September of 1950, was reported trying to calm thousands of angry demonstrators near the presidential palace in Jakarta, October17. An artilery battery was brought into position outside the palace as president Sukarno talked to the crowd which had formed to demand the dissolution of Parliament and general elections. Pres. Sukarno told the throng that he did not want to become a dictator and that he would arrange for elections as soon as possible.
Image: © Bettmann/CORBIS
Date Photographed: October 17, 1952

President Sukarno Addressing May Day Rally
Original caption: 5/7/1965-Djakarta, Indonesia- President Sukarno of Indonesia addresses a mass May Day rally in the Sports Hall Building. Sukarno announced his decision not to attend a peace conference with Malaysian Prime Minister Rahman in Tokyo. The announcement was viewed as a victory for Indonesia’s powerful Communist Party. Posters above the silent crowd stress the unity of the working classes in their struggle to overcome “imperialism.”
Image: © Bettmann/CORBIS
Date Photographed: May 7, 1965

Leaders of the Non-Aligned Nations
Original caption: 9/29/60-Yugoslavia- 5 top neutralist countries called upon Pres. Dwight Eisenhower & Premier Nikita Khrushcev to resume their personal diplomacy with a face to face conference. The move resulted from a “neutralist summit conference” late sept. 29. Shown here at the end of the conference are (L to R) PM Pandit Jawaharlal Nehru of India, Pres. Kwame Nkrumah of Ghana, Pres. Gamal Abdel Nasser of United Arab Rep., Pres. Sukarno of Indonesia, & Pres. Tito of Yugoslavia.
Image: © Bettmann/CORBIS
Date Photographed: September 29, 1960

Sukarno Inspects Troops
President Sukarno, the first leader of Indonesia after it became a republic in 1945, inspects his troops.
Image: © Hulton-Deutsch Collection/CORBIS
Date Photographed: October 1965

Portrait of Ellsworth Bunker, Howard P. Jones and President Sukarno
Original caption: U.S. Special Envoy Ellsworth Bunker, right, and Ambassador Howard P. Jones, center, chatting with Indonesian President Sukarno April 6, 1965, at the Presidential Palace in Djakarta. The Americans met with Indonesian officials in efforts to stop the “decline” of U.S. Indonesian relations.
Image: © Bettmann/CORBIS
Date Photographed: April 6, 1965

Indonesian President Sukarno
Indonesian President Sukarno was taken prisoner by Dutch troops in an attempt to retain control of Indonesia.
Image: © Bettmann/CORBIS
Date Photographed: ca. 1945-1949

Richard Nixon Speaking with Achmed Sukarno
Original caption: Visiting president chats with “veep.” Washington, D.C.: President Achmed Sukarno of Indonesia, currently on an 18 day official visit to the United States, is shown (left) chatting with Vice President Richard Nixon shortly before a capitol luncheon given in his honor by Mr. Nixon yesterday. The visiting chief of state also addressed a joint session of Congress yesterday, an honor accorded only to leaders of key nations.
Image: © Bettmann/CORBIS
Photographer: Al Muto
Date Photographed: May 18, 1956

Prime Minister Kishi Nobusuke and President Sukarno
Japanese Prime Minister Kishi Nobusuke (L) greets Indonesian President Sukarno during a state visit in Tokyo, Japan.
Image: © Bettmann/CORBIS
Date Photographed: 1958

Sukarno Achmed Speaking at Podium
Original caption: President Sukarno of Indonesia is shown here delivering his speech to the United Nations.
Image: © Bettmann/CORBIS
Date Photographed: October 2, 1960

Marilyn Monroe Standing with President Sukarno
Original caption: Indonesia’s President Sukarno is shown chatting with actress Marilyn Monroe during a party given by Mr. and Mrs. Joshua Logan at a Beverly Hills Hotel last Tuesday night. The party was given in honor of Logan’s brother-in-law, Marshall Noble, who is traveling with the 62 members of the Indonesian visiting group. Sukarno had expressed a desire to meet Miss Monroe, who he said is one of the favorite actresses in his country.
Image: © Bettmann/CORBIS
Photographer: George Snow
Date Photographed: June 1956

Kennedy and Johnson with Indonesia’s Sukarno 1961
Image: © Bettmann/CORBIS
Date Photographed: April 25, 1961

Prime Minister Kishi Nobusuke and President Sukarno
Japanese Prime Minister Kishi Nobusuke (L) greets Indonesian President Sukarno during a state visit in Tokyo, Japan.

Indonesian President Achmad Sukarno
President of Indonesia, Achmad Sukarno, in 1949.
Image: © Hulton-Deutsch Collection/CORBIS
Photographer: Bert Hardy
Date Photographed: April 1949

Indonesian President Achmad Sukarno
Achmad Sukarno, President of Indonesia and Hafi Salim (maksudnya Haji Agus Salim kali yak?), Socialist Foreign Minister, in 1949.
Image: © Hulton-Deutsch Collection/CORBIS
Photographer: Bert Hardy
Date Photographed: April 1949

Boy Riding in Bumper Car — (ngga taunya si Guntur aka Mas Tok)
Original caption: Glen Echo, Maryland: son Of Visiting President Samples American Fun. Mohammed Guntur, 12-year-old son of visiting Indonesian President Achmed Sukarno, is shown having fun at the wheel of a “Dodgem” car at the Glen Echo Amusement Park. The boy was taken to the park by Mrs. Richard Nixon, wife of the Vice President, and her daughters, Julie and Patricia.

Chou En-lai and Sukarno Ride in Boat
Original caption: 7/6/1965-Cairo, Egypt- Cruising up the Nile River, Communist China’s Premier Chou En-Lai (l) looks at the sights while his companion, President Sukarno of Indonesia checks the time. Both men were in Egypt awaiting the opening of the Afro-Asian Conference, which was to be held in Algiers. Chou stayed on in the Egyptian capital after the conference was postponed.
Image: © Bettmann/CORBISDate Photographed: July 6, 1965

sumber: http://jelajahunik.blogspot.com/2010/04/koleksi-foto-soekarno-yang-langka.html

Satu- satunya orang yang mengabadikan foto proklamasi kemerdekaan RI


Frans Soemarto Mendoer
Fotografi memang bukan hanya menjadi saksi sejarah, tapi juga menjadi bukti sejarah hidup manusia dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Dengan keberadaan foto, banyak orang bisa diingatkan dan disadarkan tentang suatu hal. Frans Soemarto Mendoer sangat memahami hal tersebut. Karena itulah, setelah mendapat kabar dari seorang sumber di harian Jepang Asia Raya bahwa akan ada kejadian penting di rumah kediaman Soekarno, Frans langsung bergerak menuju rumah bernomor 56 di Jalan Pegangsaan Timur itu sambil membawa kamera Leica-nya. Dan benar, pagi itu, Jumat, 17 Agustus 1945, sebuah peristiwa penting berlangsung di sana: pembacaan teks proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Soekarno.
Saat itu Frans hanya memiliki sisa tiga lembar plat film. Jadi dari peristiwa bersejarah itu, ia hanya bisa mengabadikan tiga adegan. Yang pertama, adegan Soekarno membacakan teks proklamasi. Yang kedua, adegan pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA. Dan yang ketiga, suasana ramainya para pemuda yang turut menyaksikan pengibaran bendera. Setelah menyelesaikan tugas jurnalisnya itu, Frans langsung bergegas meninggalkan rumah kediaman Soekarno karena menyadari bahwa tentara Jepang tengah memburunya.
Frans menjadi satu-satunya orang yang mengabadikan momen sakral itu karena Alex Alexius Impurung Mendoer, kakak kandungnya yang juga sempat memotret prosesi bersejarah tersebut, harus merelakan kameranya dirampas oleh tentara Jepang.
Dan sewaktu tentara Jepang menemui Frans untuk meminta negatif foto Soekarno yang sedang membacakan teks proklamasi, Frans mengaku film negatif itu sudah diambil oleh Barisan Pelopor. Padahal negatif foto peristiwa yang sangat penting itu ia sembunyikan dengan cara menguburnya di tanah, dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Kalau saja saat itu negatif film tersebut dirampas tentara Jepang, maka mungkin generasi sekarang dan generasi yang akan datang tidak akan tahu seperti apa peristiwa sakral tersebut.
Bahkan, mengenai kehadiran Frans di rumah Soekarno pada waktu itu, wartawan senior Alwi Shahab menulis “Andaikata tidak ada Frans Mendoer, maka kita tidak akan punya satu foto dokumentasi pun dari peristiwa proklamasi kemerdekaan…” Tulisan itu dimuat di harian Republika edisi Minggu, 14 Agustus 2005, tiga hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-60.
Pencucian tiga buah foto bersejarah itu juga tidaklah mudah karena dihalang-halangi pihak Jepang. Frans bersama Alex terpaksa secara diam-diam harus mengendap, memanjat pohon pada malam hari, dan melompati pagar di samping kantor Domei (sekarang kantor berita ANTARA) untuk bisa sampai ke sebuah lab foto guna mencetak foto-foto tersebut. Padahal, bila dua bersaudara itu tertangkap oleh tentara Jepang, mereka akan dipenjara, bahkan dihukum mati.
Foto pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu pertama kali dimuat di harian Merdeka pada tanggal 20 Februari 1946, lebih dari setengah tahun setelah pembuatannya. Film negatif catatan visual itu sekarang sudah tak dapat ditemukan lagi. Ada dugaan bahwa negatif film itu ikut hancur bersama semua dokumentasi milik kantor berita Antara yang dibakar pada peristiwa di tahun 1965. Waktu itu, sepasukan tentara mengambil seluruh koleksi negatif film dan hasil cetak foto yang dimiliki Antara lalu membakarnya.
sumber : http://www.pasarkreasi.com/whoswho/print/photography/29

Sejarah Penciptaan Lambang Burung Garuda

Garuda merupakan lambang Negara Indonesia, hampir semua orang tahu itu. Namun hanya sebagian orang saja yang mengetahui siapa penemunya dan bagaimana kisah hingga menjadi lambang kebanggaan negara ini.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.Dia lah Sultan Hamid II yang berasal dari Pontianak.

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin.

Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis. Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

sumber: http://halpalingunik.blogspot.com/2010/11/penemu-lambang-garuda.html

Tanpa Pancasila, Kita Bukan Indonesia (#2)

 Tanpa (ideologi) Pancasila, kita bukan Indonesia. Pernyataan ini tidaklah berlebihan, malahan wajar sebagai pengakuan. Pun, tidak pula sedang menempatkan Pancasila sebagai barang suci—harga mati—yang menegasikan keberadaan paham (ideologi) lain, justru sebaliknya, itu sebab disebut paham yang inklusif.
Sebagai ideologi terbuka (inklusif), mau tidak mau, Pancasila pada titik tertentu diharuskan menerima dan menghargai keberadaan paham yang bersifat ekslusif. Tanpa penerimaan ini, sifat inklusif Pancasila akan berubah menjadi ekslusif dalam dirinya; klaim Pancasila sebagai paham yang inklusif pun luntur dengan sendirinya.
Sebagai orang Indonesia yang mengaku berpaham Pancasila (Pancasilais), kita pun mesti legowo mengakui, bahkan menjadi keharusan menerima mereka yang berpaham ekslusif. Kita wajib menghargai keberadaan mereka yang menolak Pancasila atau mereka yang ingin mendirikan negara ini di atas ideologi selain Pancasila.
Tanpa praktek ini, klaim sikap inklusif kita adalah kebohongan, bertopeng inklusif semu. Sebab sikap inklusif kita rupa-rupanya bersifat diskriminatif pula: menolak mereka yang kita pandang berbeda atau dalam hal ini mereka yang menolak sikap inklusif. Andai ini yang terjadi, maka kita otomatis gagal menjadi seorang berpaham terbuka atau gagal menjadi seorang Pancasilais.
Inilah posisi, makna strategis, sekaligus ciri khas dari praktek sikap ber-Pancasila. Keluar dari pemahaman penting, bahkan mendasar ini, Indonesia pastilah bubar. Pun, kita bukanlah Indonesia.
Di konteks inilah letak kegagalan pemerintahan Orde Baru (Orba) dalam memaknai Pancasila. Rezim Soeharto melakukan kesalahan besar kerena memaksa rakyat Indonesia menerima pola pikir tunggal dalam menafsirkan, memahami, dan mengamalkan arti ber-Pancasila. Akhirnya, di saat yang sama, niat baik ingin menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka, berubah menjadi paham yang tertutup: ekslusif.
Pancasila: jalan tengah
Sejak awal kemerdekaan, perbedaan pikir kaitan ideologi bangsa juga sempat menghambat para Bapa Bangsa menuju kata sepakat. Ada di antara mereka yang menginginkan Indonesia menjadi negara berbasiskan agama tertentu sebagai ideologi, namun ada yang berharap negeri ini menjadi negara sekuler: memisahkan secara radikal antara agama dengan negara. Pertarungan ide di antara merekapun berjalan alot, masing-masing memiliki landasan pikir, serta alasan yang sama-sama rasional. Mereka “terpecah” menjadi dua kelompok, yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agamis.
Setelah dua penceramah, yakni Prof. Muhammad Yamin, S.H pada 29 Mei 1945 dan Prof. Dr. Soepomo pada 31 Mei 1945, berbagi pemikiran kaitan dasar negara pada sidang resmi pertama (28 Mei hingga 1 Juni 1945) Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sampailah kesempatan bagi Ir. Soekarno mengutarakan pendapatnya.
1305699037180087856
Sumber gambar: https://mustaqimzone.wordpress.com/tag/sidang-bpupki/
Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 itu mendapat sambutan hangat dan meriah dari anggota rapat BPUPKI. Ini amat berbeda dengan respon anggota rapat terhadap dua pandangan lain yang dikemukakan sebelumnya.
Fakta ini membuktikan, bahwa ketegangan yang muncul di antara dua pemikiran ekstrim—golongan Nasionalis Agamis di wakili oleh Muh. Yamin dan golongan Nasionalis Sekuler diwakili Soepomo—mendapatkan titik temu dalam buah pikir atau pendekatan Sang Presiden Pertama Republik Indonesia ini, Soekarno.
Akhirnya, walau dipenuhi berbagai dinamika dan diskursus dalam rapat-rapat BUPKI, termasuk dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)—yang tentu tidak sederhana, namun rumit—usulan beberapa sila oleh Soekarno, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila itu disepakati sebagai ideologi kebangsaan kita, seturut disahkannya Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, Susunan Pemerintahan, dan pengesahan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945.
Perjalanan panjang Pancasila sebagai ideologi juga tidak bersih dari tantangan. Sebagai kesepakatan tengah atau jalan tengah di antara dua ekstrim pemikiran, Pancasila jelas berada dalam posisi yang diselimuti berbagai ketegangan. Bahkan, nampaknya ketegangan yang pernah dialami para Pendiri Bangsa waktu itu juga terwariskan hingga hari ini.
Kita tak menutup mata, bahwa ada sebagian anak bangsa hari ini, atas nama berbeda ideologi, masih menolak Pancasila sebagai dasar bernegara. Bahkan, mereka dengan berani bersuara di ruang publik menyatakan sikap penolakannya itu. Mereka ingin negara dengan bermacam agama (keyakinan), suku, dan keragaman lainnya ini berubah menjadi negara berideologi agama. Keinginan ini wajar, walau mestinya tak perlu lagi terjadi, andai natur manusia Indonesia dan sejarah bangsa ini dipahami secara seksama.
Sebagai bentuk keprihatinan terhadap situasi bangsa itulah, dua Tajuk Rencana Kompas, mengangkat tema “Perlunya Solidaritas Bersama (25/04/2011) dan Komitmen terhadap Pancasila (26/04/2001). Kehadiran dua tajuk ini sebagai respon terhadap situasi bangsa Indonesia hari-hari ini. Kompas, melalui tajuknya ini, turut menyuarakan kegelisahan yang dirasa publik. Masyarakat kita kian resah sebab hidup di bawah bayang-bayang bermacam ancaman perpecahan, termasuk ketidakpastian hukum. Pun, Kompas mendorong agar komitmen terhadap Pancasila perlu disuarakan kembali.
Anak bangsa ini mesti terus disadarkan bahwa Pancasila adalah pilihan terbaik, di antara pilihan ideologi lain yang dimungkinkan. “Banyak sudah analisis mendalam tentang Pancasila. Semua bermuara memperkuat, memperyakin, dan menegaskan tentang pilihan Pancasila sebagai ideologi negara”, demikian ungkap Kompas dalam tajuk rencana 26 April ini.
Selain itu, melalui tajuk rencana sebelumnya (25/04), Kompas juga mengajak agar semua elemen bangsa ini membangun solidaritas bersama menghadapi beragam masalah teroris atau radikalisme di Indonesia. Tokoh agama, para pendidik, keluarga, pimpinan ormas, tokoh politik, masyarakat luas, dan aparat keamanan harus saling membahu dan bekerja sama dalam mengantisipasi beragam potensi penyimpangan yang bermuara pada gangguan keamanan. Kebersamaan ini tentu akan membantu kita dalam menyelesaikan berbagai masalah. Pancasila sebagai pilihan berideologi juga akan mendapatkan relevansinya.
Kedua ajakan ini kian penting, mengingat situasi politik dan keamanan kita saat ini yang semakin tidak menentu. Semangat bernegara (berpolitik) dengan basis nilai-nilai Pancasila kian dilupakan, suburnya perilaku menyimpang elit negeri (korupsi, berbagi skandal keuangan dan seks, elit yang bebal pikir serta minus kepekaan dalam kebijakan membangun gedung DPR yang super mewah, dst), termasuk munculnya berbagai gerakan radikalisme—kasus kekerasan atas nama agama (kekerasan terhadap Ahmadiyah), munculnya kasus pencucian otak yang diduga oleh gerakan Negara Islam Indonesia (NII)—adalah sederet konteks yang jelas merisaukan dan merongrong keberadaan Pancasila.
Dengan demikian, semakin penting bagi kita agar segera menilik kembali sejarah untuk mempertebal pemahaman kita kaitan ideologi Pancasila ini. Bukan untuk dihafal, bukan agar dipakai sebagai sarana menghakimi ide anak bangsa lainnya, tetapi yang terpenting adalah demi penafsiran dan pemaknaan ulang, serta untuk diterapkan secara konsisten dalam kehidupan pribadi dan relasi sosial berbangsa kita. Tanpa kita melakukan gerakan ini secara sadar, sengaja, dan baik, maka sebagai bangsa, Indonesia akan kian kehilangan jati dirinya; bangsa ini pun akan semakin cepat menuju kerapuhan berujung perpecahan.
13056984291682894099
Sumber gambar: http://fianzoner.blogspot.com/2010/08/indonesia-merdeka.html
Budaya pikir memahami Pancasila
Kaitan konteks menggali itulah, tulisan semi-panjang ini hendak bersumbang saran. Besar harapan catatan hasil bacaan ini, bisa memberikan secuil lubang intip kaitan konteks ber-Pancasila.
Pancasila adalah buah pikir yang tidak lahir di ruang kosong. Ada konteks yang menyelimuti pembentukannya. Bukan hanya konteks waktu itu (dekat), namun konteks jauh (sejarah budaya pikir manusia Indonesia) juga ikut andil membentuknya.
Seperti dikatakan Ir. Soekarno dalam sesi pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI (Dokuritzu Junbi Cosukai), “Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun daku telah mengelora dengan prinsip-prinsip itu.” (Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, 2006).
Pun bahwa Pancasila itu bukanlah hasil pikir sesaat bahkan milik Soekarno semata pernah ditegaskan kembali olehnya dalam pidato pengukuhan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 19 September 1951. “….Pancasila itu, bukanlah jasa saya, oleh karena saya, dalam hal Pancasila itu, sekedarlah menjadi “perumus” daripada perasaan-perasaan yang telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia—sekedar menjadi “pengutara” daripada keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa Indonesia turun-temurun….Pancasila itu telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Saya menggangap Pancasila itu corak karakter bangsa Indonesia.” (Soediman Kartohadiprodjo, 1976).
Itu artinya, pemahaman yang terkristal dalam lima sila yang dikemukakan Soekarno adalah buah dari perenungannya terhadap konteks luas di mana Soekarno hidup, yakni corak hidup dan pikir masyarakat Nusantara.
Eka Darmaputera (1997) menelusuri kaitan konteks luas yang memengaruhi buah pemikiran dari Soekarno itu. Dalam ringkasan disertasinya di Boston College, Amerika Serikat (1982), yang berjudul Pancasila: Identitas dan Modernitas (Tinjauan Etis dan Budaya), Eka berpendapat bahwa kita tidak bisa memahami Pancasila (bentuk dan sejarah pembentukannya) dalam kerangka pikir etis budaya masyarakat Barat: ini atau itu. Kita mesti memahaminya dalam konteks pikir orang Indonesia sendiri: bukan ini-bukan itu dan baik ini-baik itu.
Di sinilah, kemudian Eka coba menelusuri dan mengangkat sesuatu yang disebut cara pikir orang Indonesia itu. Dalam penelitian disertasinya, sampel yang diteliti oleh Eka adalah kebiasaan yang hidup di kalangan masyarakat Jawa. Eka menganilisis beberapa tradisi; utamanya Mitologi Wayang, Ritus Slametan, serta Etika Kesatuan, Keseimbangan dan Keserasian—yang dinilai mewakili atau cukup memberikan gambarkan mengenai cara pikir itu.
Dari analisis budaya ini, Eka lantas mengambil beberapa kesimpulan etis mengenai cara pandang unik yang dimiliki oleh orang Indonesia—dalam hal ini masyarakat dan budaya Jawa sebagai sampelnya. Secara singkat demikian: Pertama, sikap masyarakat Jawa terhadap hidup adalah tidak terarah kepada hidup ini, namun tidak sepenuhnya terarah ke luar hidup ini. Kedua, sikap terhadap kerja. Karena berpandangan bukan ini-bukan itu, maka dalam soal kerjapun orang Indonesia lebih santai: Aja ngoyo!
Ketiga, sikap terhadap waktu. Aja kesusu! Kalau bagi budaya barat waktu adalah uang, dan (walau) lambat asal pasti (slow but sure), maka bagi orang Indonesia uang bukanlah hal utama, termasuk “alon-alon waton kelakon” (perlahan-perlahan asalkan selamat). Kalau tekanan budaya barat pada kata pasti, maka tekanan orang Indonesia pada kata alon-alon.
Keempat sikap terhadap alam. Orang Indonesia cenderung melihat manusia dan alam sebagai subyek yang setaraf, saling terhubung dan saling tergantung. Oleh karena itu, keduanya harus berada dalam keserasian dan keselarasan; bukan untuk disembah, bukan pula untuk dieksploitasi.
Kelima, sikap terhadap sesama. Ada dua bentuk dasar pengaturan bentuk hubungan antara individu dalam masyarakat. Yang satu adalah kolektivisme dan yang lain adalah individualisme. Di dalam masyarakat yang kolektiv, individu-individu, anggotanya ada, bekerja, hidup (dan mati) untuk kepentingan seluruh masyarakat, sementara di dalam masyarakat yang individualistis, seluruh masyarakat yang ada dan melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk kesejahteraan individu-individu anggotanya.
1305701303196855508
Sumber gambar: http://www.bbc.co.uk/indonesian/specials/1717_rekonstruksi/page4.shtml
Di dalam masyarakat yang kolektivistis, individu-individu anggotanya dilahirkan di dalam masyarakat, sedang di dalam masyarakat yang individualistis, individu-individu anggotanya membentuk masyarakat.
Cara pandang masyarakat Indonesia, menurut Eka, lebih condong kepada pola pikir kolektivisme. Hal ini terlihat nyata dalam relasi antar individu dalam masyarakat. Seseorang yang terlalu mengekspresikan perasaan dianggap kasar, terlalu ambisius juga dipandang sebagai keburukan. Prestasi pribadi juga tidak terlalu ditonjolkan, oleh karena dianggap sombong.
Memahami keunikan dan budaya pikir masyarakat Indonesia di atas akan menolong kita dalam memahami Pancasila. Apalagi, pola pikir unik itulah yang mengiringi Pendiri Bangsa kita dalam menentukan pilihan mengapa berideologi Pancasila. Andai pun ada yang mesti dibanggakan dari Indonesia, dan inilah yang menentukan keindonesiaan kita, salah satunya adalah pola pikir unik ini!
Pemikiran budaya masyarakat Barat ini (ini atau itu), umum dikenal sebagai pendekatan etis benar-salah (deotologis), cenderung bersifat tegas. Pendekatan ini juga dekat dengan budaya masyarakat yang menekankan rasio, sebab tegas membutuhkan kepastian; harus terukur. Masyarakat Barat cenderung bersikap kalau tidak ini pasti itu atau kalau tidak itu pasti ini. Mereka juga didominasi pola hitam-putih.
Berbeda dengan pola pikir dominan masyarakat yang ada di Indonesia, dan dunia belahan timur pada umumnya. Di kita—sesuai sampel dalam disertasi Eka—pendekatan teleologis dan kontekstual yang dominan. Bahwa di dalam yang hitam pasti ada putih, dan di dalam yang putih juga tetap ada hitam. Dalam praksis pandangan ini, terkadang sesuatu hal (ide) itu tidak diterima sepenuhnya, pun tidak ditolak sepenuh-penuhnya. Prinsip bukan ini-bukan dan baik ini-baik itu yang berlaku. Jadi selain pendekatan etis benar-salah, ada dua pendekatan lain yakni yang menekankan pada soal baik atau bermanfaat (teleologis) dan tepat (kontekstual) sebagai ukuran dalam mengambil keputusan etis.
Sebagian orang mungkin menilai dua pendekatan ini tidaklah menarik. Tetapi, sungguhnya dua pendekatan etis ini (teleologi dan kontekstual) sangatlah humanis, sebab pengakuan terhadap ketidaksempurnaan manusia begitu nyata. Bahwa di dalam manusia yang nampak sempurna tetap ada kelemahan, pun sebaliknya di dalam manusia yang terlihat jahat sekalipun pasti ada setitik kebaikan. Maka kita perlu melihat dan memahami kedua-duanya secara baik dan menyeluruh; kita tidak boleh mengabaikan sepenuh-penuhnya sesuatu itu.
Bagi manusia Indonesia yang kental dengan pengaruh budaya Hindu India, pandangan hitam-putih cenderung tidak diminati. Umumnya, pemikiran kita didominasi mencari titik seimbang dari dua kutub ekstrim, sehingga lebih suka dengan pendekatan etis kemanfaatan dan ketepatan ini.
Natur berpikir orang Indonesia ini nampak jelas memengaruhi Pendiri Bangsa kita dalam dialektika mencari dasar bersama untuk pendirian negeri ini—selama adu argumen di rapat-rapat BPUPKI dan PPKI.
Seperti sudah dikemukakan di atas, dalam sidang-sidang badan persiapan kemerdekaan Indonesia, Pendiri Bangsa ini berada dalam dua kutub (kelompok) ekstrim pemikiran. Yang satu ingin Indonesia berdasarkan ideologi agama, bahkan kalau bisa presidennya haruslah seorang yang beragama Islam, namun sebagian lain berharap negara merdeka ini bersifat sekuler.
13056992651280561385
Sumber gambar: http://primaagunglantera.blogspot.com/2011/03/epang-dalam-perang-pasifik-semakin.html
Setelah paparan buah pikir dua ahli sebelumnya dalam rapat BPUPKI (29 Mei dan 31 Mei 1945), yakni Muh. Yamin dan Soepomo, Soekarno pun mendapat giliran pada tanggal 1 Juni 1945. Di sinilah fungsional pola pikir bukan ini-bukan itu dan baik ini-baik itu terlihat perannya.
Soekarno berhasil memberikan “angin segar” bagi anggota rapat dengan cara pikir tengah ini. Apresiasi terhadap gagasan tengah Soekarno itu terlihat nyata dari sambutan para hadirin. Kalau pidato Muh. Yamin dan Soepomo tak ada respon tepuk tangan, maka untuk sesi pidato Soekarno ini, ada 19 kali tepuk tangan (respon peserta rapat), bahkan ada keterlibatan aktif—dengan menanggapi langsung apa yang diungkapkan Seokarno—peserta rapat di dalamnya.
Daya tarik cara pikir tengah yang nampak dari respon anggota rapat BPUPKI, kian menunjukan fungsi dan ketepatan pemikiran unik ini. Fakta bahwa pidato Soekarno inilah yang kemudian diterima secara cepat sebagai dasar negara kita, adalah satu bukti bahwa Bapa Bangsa kita merasa dasar pikir inilah yang tepat (kontekstual) dan bermanfaat (teleologis) karena bisa menjadi titik temu atau solusi bagi dua ekstrim (dibaca: konflik) pemikiran.
Pilihan Bapa Bangsa terhadap Pancasila, sebagai hasil jalan tengah, sesungguhnya memiliki akar sejarah. Kajian etis dan budaya oleh Eka membuktikan hal itu, bahwa Pancasila memiliki akar budaya dalam natur pikir orang Indonesia. Bukan hanya budaya pikir tersebut telah menghasilkan Pancasila, tetapi Pancasila sebagai bentuk kristalisasi pemikiran, adalah bentuk lain dari serangkaian cara pikir unik kita itu.
Pancasila dengan pendekatan etis baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu, juga tentu bisa terus menjadi jalan tengah bagi berbagai ragam pemikiran dan ideologi yang akan tumbuh dan dianut oleh anak negeri hari-hari ini, maupun yang akan datang. Pancasila sebagai mangkok (modus vivendi), mengikuti istilah Eka, secara otomatis adalah wadah bagi semua ragam pemikiran-pemikiran itu. Walau demikian, semua pemikiran yang ada juga tidak serta merta bisa menjadi norma umum atau diterima sepenuhnya, maupun ditolak sepenuhnya.
Sebagai mangkok atau paham yang inklusif, Pancasila diposisi memberikan ruang secara arif kepada berbagai ideologi—apapaun itu—untuk terlibat di dalam proses dialog (dialektika) yang terus menerus satu dengan yang lainnya. Ini berarti semua macam pemikiran—termasuk fundamentalisme sekalipun—mempunyai tempatnya dalam Pancasila. Pancasila tidak menolak kehadiran pemikiran yang menolak Pancasila (termasuk penganutnya) di Indonesia!
Jadi, tentu adalah keliru kalau Pancasila dikata anti dengan fundamentalisme. Pancasila sebagai payung bagi segala pemikiran tidak menolak fundamentalisme, pun di saat yang sama juga tidak menerima sepenuh-penuhnya fundamentalisme. Ini sebagai konsekuensi pola pikir baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu.
Setiap hal-hal baik dari ragam pikir yang ada dan berkembang itu—termasuk dalam fundamentalisme—akan larut dalam proses dialektika. Seperti di salah satu bagian pidato Soekarno, bahwa keinginan agar pemikiran ekslusif—apa pun bentuknya itu—diberlakukan secara nasional, dalam bentuk peraturan negara, mesti melalui proses demokrasi musyawarah mufakat di parlemen. Itulah cara adil, sekaligus bentuk penghargaan kita atau Pancasila terhadap setiap pemikiran yang mungkin ada dan dimiliki oleh anak bangsa ini.
Jadi seberapapun jahatnya dan terdengar buruk suatu paham itu, selama masih sebatas pemikiran, Pancasila tetap menghargainya sebagai salah satu kontestan dalam wadah mangkok Pancasila itu. Pemikiran “jahat” itu tetap menjadi salah satu pemain untuk diuji oleh publik di parlemen sebagai ruang sidang yang fair, apakah diterima atau tidak.
Kalau pun tidak diterima, buah pemikiran itu tetap harus dihargai, tidaklah benar jika diberangus, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan dan arogan. Ide tidak bisa dihakimi, dan diberangus oleh negara. Ide hanya bisa dilawan dengan ide! Tugas negara adalah menjaga—fungsi negara sebagai penjaga malam—agar beragam pemikiran yang dianut itu, yang barang tentu melahirkan bermacam bentuk praksis pula tidak merugikan kepentingan publik yang lebih luas, juga tidak melanggar hak-hak dasar warga negara, termasuk hukum.
13056997481170211101
Sumnber gambar: http://berpikirberbeda.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Banggalah
Kajian budaya dan etis terhadap Pancasila, oleh Eka telah memberikan gambaran bahwa pendekatan bukan ini-bukan itu dan baik ini-baik itu, sebagai natur berpikir orang Indonesia, telah memberikan sumbangsih penting bagi titik temu dua pemikiran ekstrim di kala ideologi negara ini dirumuskan.
Berdasar pemikiran unik ini pula, Pancasila yang dihasilkan, adalah paham yang mengakui dan tidak menafikan keberadaan ideologi lain. Pancasila menerima hal-hal baik dari konsep negara agama yang diutarakan, juga di saat yang sama mengambil hal-hal positif dari konsep negara sekuler. Pancasila tidak sepenuhnya menolak dan menerima konsep negara agama, juga di saat yang sama Pancasila juga tidak menolak dan menerima sepenuhnya konsep negara sekuler.
Inilah bentuk dari manifestasi keunikan berpikir baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu! Maka sebagai generasi penerus adalah kurang tepat, kalau ideologi yang bisa menampung beragam pikir ini harus diganti dengan ideologi lain, yang malah cenderung bersifat diskriminatif: bernuansa kepentingan golongan tertentu saja.
Kajian mendalam oleh Eka Darmaputera (1997) juga telah membuktikan bahwa Pancasila memiliki akar budaya dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia. Itu artinya, mengganti Pancasila adalah bentuk lain dari penyangkalan terhadap natur manusia Indonesia. Kita justru harus berbangga dengan Pancasila, karena ideologi ini lahir sebagai “anak kandung” dari budaya pikir orang Indonesia. Mari terus pahami dan amalkan nilai-nilainya, karena kian jelas tanpa (ber) Pancasila kita bukanlah Indonesia. Salam KoDe!
Oleh


R. Graal Taliawo

Presiden Soekarno, Masa Bakti 1945 — 1966

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika.. Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”. (Dari Berbagai Sumber)

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945

"Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat,aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” Soekarno, Menggali Api Pancasila.

Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Badan ini mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, dengan acara tunggal menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?”

Hampir separuh anggota badan tersebut menyampaikan pandangan-pandangan dan pendapatnya. Namun belum ada satu pun yang memenuhi syarat suatu sistem filsafat dasar untuk di atasnya dibangun Indonesia Merdeka.

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.

Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrokusumo, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas “merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkn Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen tiu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.”

Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 (Diambil dari Pancasila Bung Karno, Paksi Bhinneka Tunggal Ika, 2005).
Inilah pidato yang bersejarah itu...
***
Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan di dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah – dalam bahasa Belanda – Philosofische grondslag (dasar filosofi-Ed.) dari Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka Tuan Ketua yang mulia. Tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada Tuan-Tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
“Merdeka” buat saya adalah political independence, politieke onafhankelijkheid (kemerdekaan politik, dalam bahasa Inggris dan Belanda-Ed.). Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini – zwaarwichtig (seolah-olah amat berat, dalam bahasa Belanda-Ed.) akan perkara-perkara kecil. Zwaarwichtig sampai – kata orang Jawa – jelimet (dengan teliti, rinci dan lengkap, dalam bahasa Jawa-Ed.). Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah bedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet, maka say bertanya kepada Tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80 persen dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkalah Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka!
 Lihatlah pula – jikalau Tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat – Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia adal rakyat Musyik (golongan yang percaya adanya Tuhan, tetapi tak menganut suatu agama-Ed.) yang lebih dari 80 persen tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo (Kepala Kantor Tata Usaha untuk Lembaga Tinggi, dalam bahasa Jepang, yang berada di bawah pemerintah militer Jepang untuk mengurus persiapan sidang-sidang BPUPKI-Ed.)! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuany! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka... sampai di lubang kubur!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Maka di dalam risalah tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhkelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam – in one night only – kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyadh dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan Ibn Saud, maka di seberang jembatan – artinya kemudian dari pada itu – Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade (suku yang berpindah-pindah tempat, atau pengembara, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah lagi oleh Ibn Saud menjadi kaum tani – semuanya di seberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka telah mempunyai Dneprprostoff, dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyiai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia tel mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche (tempat penitipan bayi dan anak-anak pada waktu orangtua bekerja-Ed.), baru mengadakan Dneprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan sekalian, janganlah Tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-tuan punya semangat – jikalau Tuan-tuan demikian – dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasra Indonesia Merdeka sekarang!
(Tepuk tangan-riuh)
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semoboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan-riuh)
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar-hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar!
Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon (Kekaisaran Jepang Raya-Ed.) untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseik-kan (Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang-Ed.) diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo (Kepala Departemen Urusan Umum-Ed.) diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo (Kepala Departemen-Ed.) diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milsiyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon, sekarang menyerahkan urusan negara kepada Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke rumiyin – tunggu dulu – minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain, tentang isinya. Tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis (tuntutan minimum, dalam bahasa Belanda-Ed.). Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, Saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji 500 gulden. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul (memantul, dalam bahasa Jawa-Ed.), sudah mempunyai meja-kursi yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet (pakaian untuk anak-anak, dalam bahasa Belanda-Ed.), barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat – yaitu meja mkan, lantas satu zitje (tempat duduk untuk bersantai, dalam bahasa Belanda-Ed.) – lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu Saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengans satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk (jurutulis, dalam bahasa Belanda-Ed.) dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: Kawin.
Sang Ndoro (atau Bandoro, berarti majikan atau tuan, dalam bahasa Jawa-Ed.) yang mempunyai rumah gedung, electrische-kookplaat (alat masak listrik, dalam bahasa Belanda-Ed.), tempat tidur, uang bertimbun-timbun: Kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig (berbahagia, dalam bahasa Belanda-Ed.), belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, Saudara-saudara!
(Tepuk tangan dan tertawa)
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver (peralatan makan dari perak, dalam bahasa Belanda-Ed.) satu kaset plus kinder-uitzet – buat 3 tahun lamanya!
(Tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: Kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence... saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka!
(Tepuk tangan riuh)
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu. Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu per satu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata, kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerudeem (penyakit busung lapar, dalam bahasa Belanda-Ed.), banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.”
Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyatukan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan – jembatan emas – inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht – hukum internasional – menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko (macam-macam, dalam bahasa Jawa-Ed.), yang jelimet. Tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, Saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara lain yang merdeka, itulah yang sudah bernama: Merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya – sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak?
(Jawab hadirin: Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal “dasar”.
Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag, atau – jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk – Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu Weltanschauung (pandangan hidup, dalam bahasa Jerman-Ed.), di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas national sozialistische Weltanschauung – filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu Weltanschauung, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu Weltanschauung, yaitu yang dinamakan Tenno Koodoo Seishin. Di atas Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas suatu Weltanschauung – bahkan di atas satu dasar agama – yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja mati-matian untuk me­-realiteit-kan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed, “Sovyet-Rusia didirikan dalam 10 hari oleh Lenin cs.” – Reed di dalam kitabnya Ten days that shook the world, Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia... walaupun Lenin mendirikan Rusia dalam 10 hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia Weltanschauung-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas Weltanschauung yang sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum tahun 1917, Weltanschauung itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudan, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed... hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruh kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini – Weltanschauung ini – dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885 – kalau saya tidak salah – dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The Three People's Principles, San Min Chu I – Mintsu, Minchuan, Min Sheng: Nasionalisme, demokrasi, sosialisme – telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas Weltanschauung apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah? San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan – macam-macam – tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadi-Koesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari  persetujuan paham. Kita bersama-sama mencarai persatuan philosofische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi “setuju”! Yang Saudara yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918... ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan.
Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia.
Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara-saudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat (negara nasional, dalam bahasa Belanda-Ed.), seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan (Ernest Renan, pemikir orientalis Perancis-Ed.), syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: le desir d'etre ensemble, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain – yaitu definisi Otto Bauer (pemikir dan teoritikus Partai Sosial Demokrat Austria-Ed.) – di dalam bukunya, Die Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: Was ist eine Nation? Dan dijawabnya ialah: Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft (bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib-Ed.). Inilah menurut Otto Bauer satu natie.
Tetapi kemarin pun, tatkala – kalau tidak salah – Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr.Yamin berkata: Verouderd! Sudah tua! Memang Tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah verouderd, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan geo-politik.
Kemarin – kalau tidak salah – Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan Gemeinschaft-nya (persamaan atau persatuannya, dalam bahasa Jerman-Ed.) dan perasaan orangnya, l'ame et le desir (jiwa dan kehendaknya, dalam bahasa Perancis-Ed.) Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun – jikalau ia melihat peta dunia – ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikan pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daeraha Yunani yang lain-lain – segenap kepulauan Yunani – adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat – antara rakyat dan buminya – maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d'etre ensemble, tidak cukup definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft itu.
Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d'etre ensemble adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 milyun.Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d'etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d'etre ensemble, tetapi Sunda pun haya satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia – Natie Indonesia – bukanlah sekadar contoh satu golongan orang yang hidup dengan le desir d'etre ensemble di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara 70.000.000 ini sudah ada le desir d'etre ensemble, sudah terjadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(Tepuk tangan hebat)
Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen (kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony-Ed.) adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermania-lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia-lah – yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pengunungan Alpen – adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Di luar itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram – meskipun merdeka – bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten – meskipun merdeka – bukan suatu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tua-tuan terima baik, marilah kita mengambil dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.
Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo (Wakil Ketua, maksudnya Soeroso-Ed.), Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan.”
(Liem Koen Hian menanggapi: “Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.”)
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitanisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitanisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid – perikemanusiaan!
Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun.” Itu terjadi pada tahun '17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three People's Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu, tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People's Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat, sehormat-hormatnya, merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen – sampai masuk ke lobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara! Tetapi... tetapi... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan, ekstrem-Ed.), sehingga berpaham “Indonesia uber Alles (Indonesia di atas semua bangsa-Ed.).” Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity.”
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan Deutschland uber Alles. Tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru – bangsa Arya – yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-Tuan. Jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip yang kedua. Inilah philosofische princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup di dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1  dan prinsip 2 – yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian – adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam – maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna – tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan hanya Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90 persen daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf beribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian – baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam – setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul, betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candaradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!
Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter (huruf, dalam bahasa Inggris-Ed.) di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya, sebagian besar dari utusan-utusan yang masukn badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play! (permainan yang jujur, dalam bahasa Inggris-Ed.). Tidak ada negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahu wa ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara prinsip nomor 3, yaitu prinspi permusyawaratan!
Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: Prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: Nationalism, Democracy, Sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire demoratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie (Revolusi Perancis, dalam bahasa Belanda-Ed.). Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah politieke demoratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid – tidak ada keadilan sosial, tak ada economische democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan politieke demoratie. “Di dalam parlementaire demoratie,” kata Jean Jaures, “tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”
Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister (menteri, dalam bahasa  Belanda dan Inggris-Ed.). Ia seperti raja. Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja – di dalam pabrik – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar jalan raya, dibikin werloos (menganggur, dalam bahasa Belanda-Ed.), tidak dapat makan suatu apa.”
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan bada permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid (keadilan politik dan keadilan sosial, dalam bahasa Belanda-Ed.).
Kita akan bicrakan hal ini bersama-sama, Saudara-Saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki vooronderstelt erfe-lijkheid (pewarisan yang sudah diketahui terlebih dahulu, dalam bahasa Belanda-Ed.). Turun-temurun. Saya orang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu'minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, janganlah anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya – dengan otomatis – menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu, saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1.   
Kebangsaan Indonesia
2.   
Internasionalisme atau perikemanusiaan
3.   
Mufakat atau demokrasi
4.   
Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin)
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid (sifat dapat memahami pendapat yang lain, dalam bahasa Belanda-Ed.), tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini – sesuai dengan itu – menyatakan: Bahwa prinsip kelima dari Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah prinsip ketiga – permufakatan, perwakilan – di situlah tempatnya ktai mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam (tidak sabar, memaksa, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: “Pendawa Lima.”)
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip – kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan – lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa  -- namanya ialah Pancasila. Sila artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh)
Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme – kebangsaan dan perikemanusiaan – saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan Sosio-nasionalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische demoratie – yaitu politieke demoratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan – saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan Sosio-demokrasi.
Tinggal lagi Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indoesia buat Indoesia. Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)
“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)
Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu.
Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, Saudarna-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia. Di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat-laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah SWT.
Berhubungan dengan itu – sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi – barangkali perlu diadakan noodmaat-regel (aturan darurat, dalam bahasa Belanda-Ed.), peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita.
Entah Saudara-saudara memufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membangun nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan – menjadi realiteit – jika tidak dengan perjuangan!
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
De Mensch – manusia – harus perjuangkan itu. Zonder (tanpa, dalam bahasa Belanda-Ed.) perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: Zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (hitam di atas putih, dalam bahasa Belanda-Ed.), tertulis di atas kertas, tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bansa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan!
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.
Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko – tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad: Merdeka! “Merdeka atau mati!”
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap verschrikkelijk zwaarwichtig (seolah-olah sangat berat, dalam bahasa Belanda-Ed.) itu.
Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh-rendah dari segenap hadirin)