BERITA ONLINE

Sabtu, 28 Mei 2011

Tanpa Pancasila, Kita Bukan Indonesia (#2)

 Tanpa (ideologi) Pancasila, kita bukan Indonesia. Pernyataan ini tidaklah berlebihan, malahan wajar sebagai pengakuan. Pun, tidak pula sedang menempatkan Pancasila sebagai barang suci—harga mati—yang menegasikan keberadaan paham (ideologi) lain, justru sebaliknya, itu sebab disebut paham yang inklusif.
Sebagai ideologi terbuka (inklusif), mau tidak mau, Pancasila pada titik tertentu diharuskan menerima dan menghargai keberadaan paham yang bersifat ekslusif. Tanpa penerimaan ini, sifat inklusif Pancasila akan berubah menjadi ekslusif dalam dirinya; klaim Pancasila sebagai paham yang inklusif pun luntur dengan sendirinya.
Sebagai orang Indonesia yang mengaku berpaham Pancasila (Pancasilais), kita pun mesti legowo mengakui, bahkan menjadi keharusan menerima mereka yang berpaham ekslusif. Kita wajib menghargai keberadaan mereka yang menolak Pancasila atau mereka yang ingin mendirikan negara ini di atas ideologi selain Pancasila.
Tanpa praktek ini, klaim sikap inklusif kita adalah kebohongan, bertopeng inklusif semu. Sebab sikap inklusif kita rupa-rupanya bersifat diskriminatif pula: menolak mereka yang kita pandang berbeda atau dalam hal ini mereka yang menolak sikap inklusif. Andai ini yang terjadi, maka kita otomatis gagal menjadi seorang berpaham terbuka atau gagal menjadi seorang Pancasilais.
Inilah posisi, makna strategis, sekaligus ciri khas dari praktek sikap ber-Pancasila. Keluar dari pemahaman penting, bahkan mendasar ini, Indonesia pastilah bubar. Pun, kita bukanlah Indonesia.
Di konteks inilah letak kegagalan pemerintahan Orde Baru (Orba) dalam memaknai Pancasila. Rezim Soeharto melakukan kesalahan besar kerena memaksa rakyat Indonesia menerima pola pikir tunggal dalam menafsirkan, memahami, dan mengamalkan arti ber-Pancasila. Akhirnya, di saat yang sama, niat baik ingin menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka, berubah menjadi paham yang tertutup: ekslusif.
Pancasila: jalan tengah
Sejak awal kemerdekaan, perbedaan pikir kaitan ideologi bangsa juga sempat menghambat para Bapa Bangsa menuju kata sepakat. Ada di antara mereka yang menginginkan Indonesia menjadi negara berbasiskan agama tertentu sebagai ideologi, namun ada yang berharap negeri ini menjadi negara sekuler: memisahkan secara radikal antara agama dengan negara. Pertarungan ide di antara merekapun berjalan alot, masing-masing memiliki landasan pikir, serta alasan yang sama-sama rasional. Mereka “terpecah” menjadi dua kelompok, yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agamis.
Setelah dua penceramah, yakni Prof. Muhammad Yamin, S.H pada 29 Mei 1945 dan Prof. Dr. Soepomo pada 31 Mei 1945, berbagi pemikiran kaitan dasar negara pada sidang resmi pertama (28 Mei hingga 1 Juni 1945) Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sampailah kesempatan bagi Ir. Soekarno mengutarakan pendapatnya.
1305699037180087856
Sumber gambar: https://mustaqimzone.wordpress.com/tag/sidang-bpupki/
Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 itu mendapat sambutan hangat dan meriah dari anggota rapat BPUPKI. Ini amat berbeda dengan respon anggota rapat terhadap dua pandangan lain yang dikemukakan sebelumnya.
Fakta ini membuktikan, bahwa ketegangan yang muncul di antara dua pemikiran ekstrim—golongan Nasionalis Agamis di wakili oleh Muh. Yamin dan golongan Nasionalis Sekuler diwakili Soepomo—mendapatkan titik temu dalam buah pikir atau pendekatan Sang Presiden Pertama Republik Indonesia ini, Soekarno.
Akhirnya, walau dipenuhi berbagai dinamika dan diskursus dalam rapat-rapat BUPKI, termasuk dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)—yang tentu tidak sederhana, namun rumit—usulan beberapa sila oleh Soekarno, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila itu disepakati sebagai ideologi kebangsaan kita, seturut disahkannya Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, Susunan Pemerintahan, dan pengesahan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945.
Perjalanan panjang Pancasila sebagai ideologi juga tidak bersih dari tantangan. Sebagai kesepakatan tengah atau jalan tengah di antara dua ekstrim pemikiran, Pancasila jelas berada dalam posisi yang diselimuti berbagai ketegangan. Bahkan, nampaknya ketegangan yang pernah dialami para Pendiri Bangsa waktu itu juga terwariskan hingga hari ini.
Kita tak menutup mata, bahwa ada sebagian anak bangsa hari ini, atas nama berbeda ideologi, masih menolak Pancasila sebagai dasar bernegara. Bahkan, mereka dengan berani bersuara di ruang publik menyatakan sikap penolakannya itu. Mereka ingin negara dengan bermacam agama (keyakinan), suku, dan keragaman lainnya ini berubah menjadi negara berideologi agama. Keinginan ini wajar, walau mestinya tak perlu lagi terjadi, andai natur manusia Indonesia dan sejarah bangsa ini dipahami secara seksama.
Sebagai bentuk keprihatinan terhadap situasi bangsa itulah, dua Tajuk Rencana Kompas, mengangkat tema “Perlunya Solidaritas Bersama (25/04/2011) dan Komitmen terhadap Pancasila (26/04/2001). Kehadiran dua tajuk ini sebagai respon terhadap situasi bangsa Indonesia hari-hari ini. Kompas, melalui tajuknya ini, turut menyuarakan kegelisahan yang dirasa publik. Masyarakat kita kian resah sebab hidup di bawah bayang-bayang bermacam ancaman perpecahan, termasuk ketidakpastian hukum. Pun, Kompas mendorong agar komitmen terhadap Pancasila perlu disuarakan kembali.
Anak bangsa ini mesti terus disadarkan bahwa Pancasila adalah pilihan terbaik, di antara pilihan ideologi lain yang dimungkinkan. “Banyak sudah analisis mendalam tentang Pancasila. Semua bermuara memperkuat, memperyakin, dan menegaskan tentang pilihan Pancasila sebagai ideologi negara”, demikian ungkap Kompas dalam tajuk rencana 26 April ini.
Selain itu, melalui tajuk rencana sebelumnya (25/04), Kompas juga mengajak agar semua elemen bangsa ini membangun solidaritas bersama menghadapi beragam masalah teroris atau radikalisme di Indonesia. Tokoh agama, para pendidik, keluarga, pimpinan ormas, tokoh politik, masyarakat luas, dan aparat keamanan harus saling membahu dan bekerja sama dalam mengantisipasi beragam potensi penyimpangan yang bermuara pada gangguan keamanan. Kebersamaan ini tentu akan membantu kita dalam menyelesaikan berbagai masalah. Pancasila sebagai pilihan berideologi juga akan mendapatkan relevansinya.
Kedua ajakan ini kian penting, mengingat situasi politik dan keamanan kita saat ini yang semakin tidak menentu. Semangat bernegara (berpolitik) dengan basis nilai-nilai Pancasila kian dilupakan, suburnya perilaku menyimpang elit negeri (korupsi, berbagi skandal keuangan dan seks, elit yang bebal pikir serta minus kepekaan dalam kebijakan membangun gedung DPR yang super mewah, dst), termasuk munculnya berbagai gerakan radikalisme—kasus kekerasan atas nama agama (kekerasan terhadap Ahmadiyah), munculnya kasus pencucian otak yang diduga oleh gerakan Negara Islam Indonesia (NII)—adalah sederet konteks yang jelas merisaukan dan merongrong keberadaan Pancasila.
Dengan demikian, semakin penting bagi kita agar segera menilik kembali sejarah untuk mempertebal pemahaman kita kaitan ideologi Pancasila ini. Bukan untuk dihafal, bukan agar dipakai sebagai sarana menghakimi ide anak bangsa lainnya, tetapi yang terpenting adalah demi penafsiran dan pemaknaan ulang, serta untuk diterapkan secara konsisten dalam kehidupan pribadi dan relasi sosial berbangsa kita. Tanpa kita melakukan gerakan ini secara sadar, sengaja, dan baik, maka sebagai bangsa, Indonesia akan kian kehilangan jati dirinya; bangsa ini pun akan semakin cepat menuju kerapuhan berujung perpecahan.
13056984291682894099
Sumber gambar: http://fianzoner.blogspot.com/2010/08/indonesia-merdeka.html
Budaya pikir memahami Pancasila
Kaitan konteks menggali itulah, tulisan semi-panjang ini hendak bersumbang saran. Besar harapan catatan hasil bacaan ini, bisa memberikan secuil lubang intip kaitan konteks ber-Pancasila.
Pancasila adalah buah pikir yang tidak lahir di ruang kosong. Ada konteks yang menyelimuti pembentukannya. Bukan hanya konteks waktu itu (dekat), namun konteks jauh (sejarah budaya pikir manusia Indonesia) juga ikut andil membentuknya.
Seperti dikatakan Ir. Soekarno dalam sesi pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI (Dokuritzu Junbi Cosukai), “Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun daku telah mengelora dengan prinsip-prinsip itu.” (Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, 2006).
Pun bahwa Pancasila itu bukanlah hasil pikir sesaat bahkan milik Soekarno semata pernah ditegaskan kembali olehnya dalam pidato pengukuhan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 19 September 1951. “….Pancasila itu, bukanlah jasa saya, oleh karena saya, dalam hal Pancasila itu, sekedarlah menjadi “perumus” daripada perasaan-perasaan yang telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia—sekedar menjadi “pengutara” daripada keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa Indonesia turun-temurun….Pancasila itu telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Saya menggangap Pancasila itu corak karakter bangsa Indonesia.” (Soediman Kartohadiprodjo, 1976).
Itu artinya, pemahaman yang terkristal dalam lima sila yang dikemukakan Soekarno adalah buah dari perenungannya terhadap konteks luas di mana Soekarno hidup, yakni corak hidup dan pikir masyarakat Nusantara.
Eka Darmaputera (1997) menelusuri kaitan konteks luas yang memengaruhi buah pemikiran dari Soekarno itu. Dalam ringkasan disertasinya di Boston College, Amerika Serikat (1982), yang berjudul Pancasila: Identitas dan Modernitas (Tinjauan Etis dan Budaya), Eka berpendapat bahwa kita tidak bisa memahami Pancasila (bentuk dan sejarah pembentukannya) dalam kerangka pikir etis budaya masyarakat Barat: ini atau itu. Kita mesti memahaminya dalam konteks pikir orang Indonesia sendiri: bukan ini-bukan itu dan baik ini-baik itu.
Di sinilah, kemudian Eka coba menelusuri dan mengangkat sesuatu yang disebut cara pikir orang Indonesia itu. Dalam penelitian disertasinya, sampel yang diteliti oleh Eka adalah kebiasaan yang hidup di kalangan masyarakat Jawa. Eka menganilisis beberapa tradisi; utamanya Mitologi Wayang, Ritus Slametan, serta Etika Kesatuan, Keseimbangan dan Keserasian—yang dinilai mewakili atau cukup memberikan gambarkan mengenai cara pikir itu.
Dari analisis budaya ini, Eka lantas mengambil beberapa kesimpulan etis mengenai cara pandang unik yang dimiliki oleh orang Indonesia—dalam hal ini masyarakat dan budaya Jawa sebagai sampelnya. Secara singkat demikian: Pertama, sikap masyarakat Jawa terhadap hidup adalah tidak terarah kepada hidup ini, namun tidak sepenuhnya terarah ke luar hidup ini. Kedua, sikap terhadap kerja. Karena berpandangan bukan ini-bukan itu, maka dalam soal kerjapun orang Indonesia lebih santai: Aja ngoyo!
Ketiga, sikap terhadap waktu. Aja kesusu! Kalau bagi budaya barat waktu adalah uang, dan (walau) lambat asal pasti (slow but sure), maka bagi orang Indonesia uang bukanlah hal utama, termasuk “alon-alon waton kelakon” (perlahan-perlahan asalkan selamat). Kalau tekanan budaya barat pada kata pasti, maka tekanan orang Indonesia pada kata alon-alon.
Keempat sikap terhadap alam. Orang Indonesia cenderung melihat manusia dan alam sebagai subyek yang setaraf, saling terhubung dan saling tergantung. Oleh karena itu, keduanya harus berada dalam keserasian dan keselarasan; bukan untuk disembah, bukan pula untuk dieksploitasi.
Kelima, sikap terhadap sesama. Ada dua bentuk dasar pengaturan bentuk hubungan antara individu dalam masyarakat. Yang satu adalah kolektivisme dan yang lain adalah individualisme. Di dalam masyarakat yang kolektiv, individu-individu, anggotanya ada, bekerja, hidup (dan mati) untuk kepentingan seluruh masyarakat, sementara di dalam masyarakat yang individualistis, seluruh masyarakat yang ada dan melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk kesejahteraan individu-individu anggotanya.
1305701303196855508
Sumber gambar: http://www.bbc.co.uk/indonesian/specials/1717_rekonstruksi/page4.shtml
Di dalam masyarakat yang kolektivistis, individu-individu anggotanya dilahirkan di dalam masyarakat, sedang di dalam masyarakat yang individualistis, individu-individu anggotanya membentuk masyarakat.
Cara pandang masyarakat Indonesia, menurut Eka, lebih condong kepada pola pikir kolektivisme. Hal ini terlihat nyata dalam relasi antar individu dalam masyarakat. Seseorang yang terlalu mengekspresikan perasaan dianggap kasar, terlalu ambisius juga dipandang sebagai keburukan. Prestasi pribadi juga tidak terlalu ditonjolkan, oleh karena dianggap sombong.
Memahami keunikan dan budaya pikir masyarakat Indonesia di atas akan menolong kita dalam memahami Pancasila. Apalagi, pola pikir unik itulah yang mengiringi Pendiri Bangsa kita dalam menentukan pilihan mengapa berideologi Pancasila. Andai pun ada yang mesti dibanggakan dari Indonesia, dan inilah yang menentukan keindonesiaan kita, salah satunya adalah pola pikir unik ini!
Pemikiran budaya masyarakat Barat ini (ini atau itu), umum dikenal sebagai pendekatan etis benar-salah (deotologis), cenderung bersifat tegas. Pendekatan ini juga dekat dengan budaya masyarakat yang menekankan rasio, sebab tegas membutuhkan kepastian; harus terukur. Masyarakat Barat cenderung bersikap kalau tidak ini pasti itu atau kalau tidak itu pasti ini. Mereka juga didominasi pola hitam-putih.
Berbeda dengan pola pikir dominan masyarakat yang ada di Indonesia, dan dunia belahan timur pada umumnya. Di kita—sesuai sampel dalam disertasi Eka—pendekatan teleologis dan kontekstual yang dominan. Bahwa di dalam yang hitam pasti ada putih, dan di dalam yang putih juga tetap ada hitam. Dalam praksis pandangan ini, terkadang sesuatu hal (ide) itu tidak diterima sepenuhnya, pun tidak ditolak sepenuh-penuhnya. Prinsip bukan ini-bukan dan baik ini-baik itu yang berlaku. Jadi selain pendekatan etis benar-salah, ada dua pendekatan lain yakni yang menekankan pada soal baik atau bermanfaat (teleologis) dan tepat (kontekstual) sebagai ukuran dalam mengambil keputusan etis.
Sebagian orang mungkin menilai dua pendekatan ini tidaklah menarik. Tetapi, sungguhnya dua pendekatan etis ini (teleologi dan kontekstual) sangatlah humanis, sebab pengakuan terhadap ketidaksempurnaan manusia begitu nyata. Bahwa di dalam manusia yang nampak sempurna tetap ada kelemahan, pun sebaliknya di dalam manusia yang terlihat jahat sekalipun pasti ada setitik kebaikan. Maka kita perlu melihat dan memahami kedua-duanya secara baik dan menyeluruh; kita tidak boleh mengabaikan sepenuh-penuhnya sesuatu itu.
Bagi manusia Indonesia yang kental dengan pengaruh budaya Hindu India, pandangan hitam-putih cenderung tidak diminati. Umumnya, pemikiran kita didominasi mencari titik seimbang dari dua kutub ekstrim, sehingga lebih suka dengan pendekatan etis kemanfaatan dan ketepatan ini.
Natur berpikir orang Indonesia ini nampak jelas memengaruhi Pendiri Bangsa kita dalam dialektika mencari dasar bersama untuk pendirian negeri ini—selama adu argumen di rapat-rapat BPUPKI dan PPKI.
Seperti sudah dikemukakan di atas, dalam sidang-sidang badan persiapan kemerdekaan Indonesia, Pendiri Bangsa ini berada dalam dua kutub (kelompok) ekstrim pemikiran. Yang satu ingin Indonesia berdasarkan ideologi agama, bahkan kalau bisa presidennya haruslah seorang yang beragama Islam, namun sebagian lain berharap negara merdeka ini bersifat sekuler.
13056992651280561385
Sumber gambar: http://primaagunglantera.blogspot.com/2011/03/epang-dalam-perang-pasifik-semakin.html
Setelah paparan buah pikir dua ahli sebelumnya dalam rapat BPUPKI (29 Mei dan 31 Mei 1945), yakni Muh. Yamin dan Soepomo, Soekarno pun mendapat giliran pada tanggal 1 Juni 1945. Di sinilah fungsional pola pikir bukan ini-bukan itu dan baik ini-baik itu terlihat perannya.
Soekarno berhasil memberikan “angin segar” bagi anggota rapat dengan cara pikir tengah ini. Apresiasi terhadap gagasan tengah Soekarno itu terlihat nyata dari sambutan para hadirin. Kalau pidato Muh. Yamin dan Soepomo tak ada respon tepuk tangan, maka untuk sesi pidato Soekarno ini, ada 19 kali tepuk tangan (respon peserta rapat), bahkan ada keterlibatan aktif—dengan menanggapi langsung apa yang diungkapkan Seokarno—peserta rapat di dalamnya.
Daya tarik cara pikir tengah yang nampak dari respon anggota rapat BPUPKI, kian menunjukan fungsi dan ketepatan pemikiran unik ini. Fakta bahwa pidato Soekarno inilah yang kemudian diterima secara cepat sebagai dasar negara kita, adalah satu bukti bahwa Bapa Bangsa kita merasa dasar pikir inilah yang tepat (kontekstual) dan bermanfaat (teleologis) karena bisa menjadi titik temu atau solusi bagi dua ekstrim (dibaca: konflik) pemikiran.
Pilihan Bapa Bangsa terhadap Pancasila, sebagai hasil jalan tengah, sesungguhnya memiliki akar sejarah. Kajian etis dan budaya oleh Eka membuktikan hal itu, bahwa Pancasila memiliki akar budaya dalam natur pikir orang Indonesia. Bukan hanya budaya pikir tersebut telah menghasilkan Pancasila, tetapi Pancasila sebagai bentuk kristalisasi pemikiran, adalah bentuk lain dari serangkaian cara pikir unik kita itu.
Pancasila dengan pendekatan etis baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu, juga tentu bisa terus menjadi jalan tengah bagi berbagai ragam pemikiran dan ideologi yang akan tumbuh dan dianut oleh anak negeri hari-hari ini, maupun yang akan datang. Pancasila sebagai mangkok (modus vivendi), mengikuti istilah Eka, secara otomatis adalah wadah bagi semua ragam pemikiran-pemikiran itu. Walau demikian, semua pemikiran yang ada juga tidak serta merta bisa menjadi norma umum atau diterima sepenuhnya, maupun ditolak sepenuhnya.
Sebagai mangkok atau paham yang inklusif, Pancasila diposisi memberikan ruang secara arif kepada berbagai ideologi—apapaun itu—untuk terlibat di dalam proses dialog (dialektika) yang terus menerus satu dengan yang lainnya. Ini berarti semua macam pemikiran—termasuk fundamentalisme sekalipun—mempunyai tempatnya dalam Pancasila. Pancasila tidak menolak kehadiran pemikiran yang menolak Pancasila (termasuk penganutnya) di Indonesia!
Jadi, tentu adalah keliru kalau Pancasila dikata anti dengan fundamentalisme. Pancasila sebagai payung bagi segala pemikiran tidak menolak fundamentalisme, pun di saat yang sama juga tidak menerima sepenuh-penuhnya fundamentalisme. Ini sebagai konsekuensi pola pikir baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu.
Setiap hal-hal baik dari ragam pikir yang ada dan berkembang itu—termasuk dalam fundamentalisme—akan larut dalam proses dialektika. Seperti di salah satu bagian pidato Soekarno, bahwa keinginan agar pemikiran ekslusif—apa pun bentuknya itu—diberlakukan secara nasional, dalam bentuk peraturan negara, mesti melalui proses demokrasi musyawarah mufakat di parlemen. Itulah cara adil, sekaligus bentuk penghargaan kita atau Pancasila terhadap setiap pemikiran yang mungkin ada dan dimiliki oleh anak bangsa ini.
Jadi seberapapun jahatnya dan terdengar buruk suatu paham itu, selama masih sebatas pemikiran, Pancasila tetap menghargainya sebagai salah satu kontestan dalam wadah mangkok Pancasila itu. Pemikiran “jahat” itu tetap menjadi salah satu pemain untuk diuji oleh publik di parlemen sebagai ruang sidang yang fair, apakah diterima atau tidak.
Kalau pun tidak diterima, buah pemikiran itu tetap harus dihargai, tidaklah benar jika diberangus, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan dan arogan. Ide tidak bisa dihakimi, dan diberangus oleh negara. Ide hanya bisa dilawan dengan ide! Tugas negara adalah menjaga—fungsi negara sebagai penjaga malam—agar beragam pemikiran yang dianut itu, yang barang tentu melahirkan bermacam bentuk praksis pula tidak merugikan kepentingan publik yang lebih luas, juga tidak melanggar hak-hak dasar warga negara, termasuk hukum.
13056997481170211101
Sumnber gambar: http://berpikirberbeda.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Banggalah
Kajian budaya dan etis terhadap Pancasila, oleh Eka telah memberikan gambaran bahwa pendekatan bukan ini-bukan itu dan baik ini-baik itu, sebagai natur berpikir orang Indonesia, telah memberikan sumbangsih penting bagi titik temu dua pemikiran ekstrim di kala ideologi negara ini dirumuskan.
Berdasar pemikiran unik ini pula, Pancasila yang dihasilkan, adalah paham yang mengakui dan tidak menafikan keberadaan ideologi lain. Pancasila menerima hal-hal baik dari konsep negara agama yang diutarakan, juga di saat yang sama mengambil hal-hal positif dari konsep negara sekuler. Pancasila tidak sepenuhnya menolak dan menerima konsep negara agama, juga di saat yang sama Pancasila juga tidak menolak dan menerima sepenuhnya konsep negara sekuler.
Inilah bentuk dari manifestasi keunikan berpikir baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu! Maka sebagai generasi penerus adalah kurang tepat, kalau ideologi yang bisa menampung beragam pikir ini harus diganti dengan ideologi lain, yang malah cenderung bersifat diskriminatif: bernuansa kepentingan golongan tertentu saja.
Kajian mendalam oleh Eka Darmaputera (1997) juga telah membuktikan bahwa Pancasila memiliki akar budaya dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia. Itu artinya, mengganti Pancasila adalah bentuk lain dari penyangkalan terhadap natur manusia Indonesia. Kita justru harus berbangga dengan Pancasila, karena ideologi ini lahir sebagai “anak kandung” dari budaya pikir orang Indonesia. Mari terus pahami dan amalkan nilai-nilainya, karena kian jelas tanpa (ber) Pancasila kita bukanlah Indonesia. Salam KoDe!
Oleh


R. Graal Taliawo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar