BERITA ONLINE

Sabtu, 28 Mei 2011

Pancasila Hanya Dimaknai Secara Seremonial

Budayawan yang juga pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang, K.H. Nuril Arifin, yang akrab disapa Gus Nuril, menyatakan bahwa selama ini Pancasila hanya dimaknai secara seremonial dan belum mengakar di hati bangsa Indonesia.

"Termasuk pada 1 Juni mendatang yang diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila, hanya akan bersifat seremonial semacam itu," katanya di Semarang, Sabtu, saat merefleksikan Peringatan Hari Lahir Pancasila, setiap 1 Juni.

Menurut dia, bangsa Indonesia, mulai dari rakyat hingga pemimpinnya banyak yang justru "mengkhianati" Pancasila. "Dalam berbagai aspek kehidupan justru tidak sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila."

Ia mencontohkan dari kalangan rakyatnya, Pancasila seperti dilupakan seiring kian sulitnya kehidupan ekonomi yang mereka hadapi, semakin banyak beban hidup yang dipikul, sementara peluang mendapatkan lapangan kerja kian sempit.

"Kondisi ekonomi yang menjepit itu akhirnya memaksa rakyat melakukan tindakan yang salah demi mempertahankan hidup, seperti merampok dan menjambret. Mengapa? Karena pemerintah `memaksa` rakyat berbuat semacam itu," katanya.

Pemerintah, kata dia, tak mampu memenuhi prasyarat hidup yang layak bagi rakyat, tak mampu menyediakan lapangan kerja memadai, dan sekarang ini banyak perusahaan yang memilih menerapkan sistem tenaga kerja kontrak.

"Sistem tenaga kerja kontrak ini bersifat kapitalis, karena rakyat jadi tidak merasa terjamin masa depannya. Akhirnya, jangankan Pancasila, nilai agama pun `ditinggalkan`," kata Gus Nuril yang mantan Panglima Laskar Berani Mati membela Gus Dur itu.

Selain itu, ia juga menyoroti penegakan hukum di Indonesia.

Selama ini, katanya, hukum memang sudah ditegakkan sesuai prosedur, namun belum mampu menciptakan rasa keadilan masyarakat, terutama kalangan bawah.

Ia menyatakan, banyak contoh penegakan hukum yang belum mampu menciptakan rasa keadilan masyarakat.

Ia mengatakan, masyarakat kecil terjerat hukum diadili, sementara kasus-kasus hukum yang menyeret orang-orang besar justru didiamkan hingga saat ini.

"Pemaknaan Pancasila bagi kalangan pemimpin juga sama saja, karena mereka terlalu sibuk bersaing memperebutkan jabatan dan kekuasaan, dengan menggunakan duit. Siapa punya duit yang menang, bukan yang berilmu dan bijaksana," katanya.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, kata dia, akhirnya banyak keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.

Ia mengatakan, suara terbanyak dijadikan penentu kebenaran, bukan berdasarkan nilai hikmat kebijaksanaan.

"Padahal, Pancasila sudah jelas menyatakan dalam Sila 4 bahwa Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Musyawarah yang harus dikedepankan, bukan `voting`," kata Gus Nuril.
(sumber : www.antaranews.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar